Bab 6: Hati yang Terluka

1 0 0
                                    


Sejak kejadian itu di taman, rasanya seperti ada jarak yang semakin lebar antara aku dan Laras. Kami masih duduk bersama di bangku taman seperti biasanya, namun keheningan yang mengisi setiap pertemuan kami semakin terasa menekan. Tidak ada lagi canda tawa, tidak ada lagi obrolan ringan seperti dulu. Sekarang semuanya terasa lebih serius. Bahkan, ketika aku mencoba mengajaknya berbicara, Laras selalu menghindar—baik dengan kata-kata maupun dengan tindakannya.

Setiap kali kami berbicara, ada sesuatu yang terpendam di balik matanya. Seperti ada cerita yang belum dia bagikan padaku, dan aku merasa semakin lama semakin sulit untuk memahaminya. Aku ingin sekali dia membuka diri, tapi aku tahu, aku tidak bisa memaksanya. Aku bisa merasakan dia berusaha keras untuk menjaga jarak, tapi di sisi lain, aku tahu dia juga menginginkan sesuatu dari aku—sesuatu yang belum dia bisa katakan.

Hari itu, seperti biasa, setelah jam sekolah berakhir, aku berjalan menuju taman belakang. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa ada yang aneh dengan suasana di sekitar kami. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun aku tidak tahu apa itu.

Laras sudah ada di sana ketika aku tiba. Dia duduk seperti biasa, di bangku yang paling jauh, dengan pandangan kosong. Tidak seperti biasanya, dia tidak melihat ke arahku saat aku datang. Aku merasa cemas, seperti ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya, meskipun dia tidak menunjukkannya secara langsung.

Aku duduk di sebelahnya, lebih dekat daripada biasanya. "Laras," panggilku pelan, mencoba menarik perhatiannya.

Dia menoleh sedikit, tetapi tidak banyak, seolah-olah hanya melakukan itu sekadar formalitas. "Hmm?" jawabnya tanpa ekspresi.

"Ada apa?" tanyaku, mencoba mencari tahu apa yang mengganggunya.

Laras menunduk, jarinya memainkan tali tasnya dengan gelisah. "Aku nggak tahu," jawabnya dengan nada yang sangat pelan. "Aku cuma merasa... seperti ada sesuatu yang nggak beres."

Aku merasa perasaan itu, dan jujur saja, aku juga merasa hal yang sama. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang belum terungkap. "Ada yang ingin kamu ceritakan?" tanyaku dengan hati-hati.

Laras tidak langsung menjawab. Dia terdiam beberapa saat, menghindari tatapanku. "Aku... aku takut," katanya akhirnya, suaranya sangat pelan. "Aku takut kalau aku bilang sesuatu, semuanya akan berubah. Aku takut... kamu nggak akan melihat aku sama lagi."

Aku merasa hatiku sedikit terhimpit. Perkataan Laras itu mengingatkanku pada betapa banyak orang yang merasa terjebak dengan perasaan takut dan cemas. Aku ingin sekali meyakinkannya bahwa aku tidak akan pergi kemana-mana, bahwa aku akan tetap di sini untuknya, tetapi aku tahu kata-kata saja tidak akan cukup. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku benar-benar peduli.

"Laras," aku mencoba lebih tegas, "apa pun yang kamu takutkan, aku di sini. Kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri. Kalau kamu takut aku akan menjauh, kamu salah. Aku nggak akan pergi kemana-mana."

Dia menatapku dengan tatapan kosong, lalu perlahan, bibirnya membentuk sebuah senyum yang sangat tipis, seperti senyum yang sudah lama tidak dia tunjukkan. "Kamu baik sekali, Raka," katanya pelan, "Tapi aku nggak tahu... kalau aku cerita, aku nggak tahu bagaimana cara menjelaskannya."

Aku ingin sekali memeluknya saat itu, ingin sekali mengatakan bahwa aku ada untuknya, tetapi aku tahu itu bukan yang dia butuhkan sekarang. Aku hanya bisa duduk di sampingnya, mencoba memberikan kehangatan melalui kehadiranku.

"Apa yang kamu takutkan?" tanyaku lagi, suara kali ini lebih lembut, lebih penuh pengertian.

Laras terdiam. Dia memejamkan matanya, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan. "Kamu pernah merasa seperti... kamu nggak punya pilihan lain, Raka?" tanyanya, matanya masih tertutup rapat. "Aku merasa seperti itu. Aku merasa seperti aku sudah terjebak dalam hidupku sendiri, dan tidak ada jalan keluar."

Aku terkejut dengan kata-katanya. Tidak pernah sekali pun aku mendengar Laras berbicara begitu terbuka. Sepertinya dia benar-benar ingin mengatakan sesuatu yang besar, sesuatu yang selama ini terpendam. "Apa maksudmu?" aku bertanya, berusaha memahami.

Laras membuka matanya perlahan dan menatapku dengan tatapan yang kosong. "Aku punya banyak masalah, Raka. Masalah yang tidak bisa aku bicarakan. Ada orang-orang yang... yang berusaha mengendalikan hidupku. Dan aku merasa terjebak."

Aku terdiam. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat dalam dirinya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah remaja biasa. Aku ingin menanyakan lebih banyak, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa memaksanya. Dia harus siap untuk bercerita jika dia mau.

"Aku nggak tahu harus gimana," lanjutnya, suara Laras semakin lembut, "Terkadang, aku merasa seperti orang lain mengatur hidupku. Mereka ingin aku jadi seperti yang mereka inginkan, bukan seperti apa yang aku mau. Dan itu membuatku merasa terkunci, seperti nggak ada pilihan lagi."

Aku menggenggam tangannya, memberi sedikit dukungan tanpa mengatakannya. "Kamu nggak sendiri, Laras," kataku pelan. "Aku nggak tahu apa yang kamu hadapi, tapi aku akan tetap ada di sini untukmu."

Laras hanya mengangguk pelan, lalu kembali menunduk. "Terima kasih," katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.

Kami terdiam sejenak, dan meskipun kata-kata itu tidak banyak, aku bisa merasakan bahwa ada beban yang sedikit lebih ringan di pundaknya. Mungkin dia tidak bisa mengubah semuanya dalam sekejap, tetapi setidaknya dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Hari itu, ketika kami berpisah, aku merasa bahwa ada jarak yang lebih sedikit antara kami. Laras masih belum sepenuhnya terbuka, dan aku tahu dia masih menyimpan banyak rahasia. Tetapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak akan berhenti berusaha. Aku tidak akan membiarkan dia menjalani ini sendirian.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang