Minggu-minggu setelah pertemuan kami di taman belakang itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hidupku. Tidak banyak yang berubah secara nyata, tentu saja. Sekolah masih berjalan seperti biasa, tugas-tugas masih menumpuk, dan rutinitasku yang biasa tetap berlangsung tanpa gangguan. Namun, ada satu hal yang terasa seperti penghalang dalam rutinitasku yang sebelumnya begitu familiar—Laras.
Setiap kali aku masuk ke kelas, aku selalu mencari tahu apakah Laras ada di sana, meskipun aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan itu. Tidak ada yang terlalu mencolok, tidak ada perubahan besar dalam hubungan kami. Kami hanya bertemu di taman, berbicara sedikit, atau lebih tepatnya, duduk bersama dalam diam. Tapi itu cukup membuatku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengikat kami tanpa perlu banyak kata.
Aku merasa semakin dekat dengan Laras, meskipun kami belum pernah benar-benar berbicara banyak. Setiap kali aku melihatnya, ada semacam kedamaian yang datang begitu saja, seolah-olah dunia ini menjadi lebih sederhana ketika dia ada di dekatku. Namun, aku sadar bahwa hubungan kami tidak akan semudah yang aku bayangkan. Laras bukanlah seseorang yang bisa didekati dengan mudah.
Suatu hari, setelah pelajaran selesai, aku berjalan keluar dari kelas menuju taman seperti biasa. Namun, kali ini ada yang berbeda. Aku tidak melihat Laras di bangkunya, dan suasana di taman terasa sedikit lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di bangku favoritku, menunggu dia datang. Tapi setelah beberapa menit, aku mulai merasa tidak nyaman. Biasanya, Laras sudah ada di sana, atau setidaknya aku bisa melihatnya berjalan dengan langkah tenang menuju tempat itu. Tapi hari itu, taman itu terasa kosong.
Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah ada yang salah. Mungkin dia tidak merasa datang hari itu, atau mungkin dia memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Rasanya aneh, seperti ada yang hilang. Aku merasa sedikit kecewa, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Mungkin aku yang terlalu berharap.
Saat aku sedang merenung, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh dan melihat Laras, yang kali ini terlihat sedikit berbeda. Dia berjalan dengan ekspresi wajah yang lebih serius, dan matanya tampak lebih tajam, lebih fokus dari biasanya. Aku langsung berdiri, mencoba untuk menyapanya, meskipun aku merasa agak canggung.
"Kamu terlambat," kataku, berusaha untuk bersikap santai, meskipun sebenarnya ada rasa gugup yang mengganggu.
Laras berhenti sejenak, menatapku dengan sedikit bingung. "Aku nggak terlambat," jawabnya, lalu duduk di bangku di sebelahku. "Hanya saja aku nggak merasa ingin datang lebih awal."
Aku mengangguk, meskipun aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya. Biasanya, Laras tidak banyak berbicara tentang perasaan atau apa yang dia pikirkan. Dia selalu terkesan tenang, bahkan dingin. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam ketegangan dalam dirinya yang aku tidak bisa mengabaikan.
"Ada yang salah?" tanyaku hati-hati, mencoba untuk mengetahui apakah dia sedang mengalami sesuatu yang mengganggunya.
Laras terdiam sejenak. Dia menatap ke depan, melihat beberapa daun yang berguguran di sekitar kami, lalu menghela napas. "Nggak ada yang salah," jawabnya pelan, namun aku bisa merasakan ada kelelahan dalam suaranya. "Hanya saja... kadang aku merasa terlalu banyak hal yang mengganggu pikiranku."
Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Biasanya, Laras adalah sosok yang sangat tertutup, dan mendengar dia mengatakan hal seperti itu membuatku merasa sedikit terkejut. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, atau apa yang membuatnya merasa seperti itu. Tetapi ada satu hal yang aku tahu—aku ingin bisa mendukungnya, meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya.
"Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, berusaha untuk tidak terlalu memaksakan.
Laras menoleh padaku, dan matanya bertemu dengan mataku untuk beberapa detik yang terasa sangat lama. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya kembali ke depan, ke arah langit yang mulai gelap. "Kadang, aku merasa terjebak dalam kehidupan yang nggak aku pilih," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Ada banyak hal yang harus aku lakukan, banyak ekspektasi dari orang lain, dan aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Aku tidak tahu bagaimana harus merespons, tetapi aku merasakan kepedihan yang tersirat dalam kata-katanya. Aku tahu bahwa hidupnya tidak semudah yang aku bayangkan. Laras bukanlah orang yang bisa dibilang "beruntung" dalam hidup. Mungkin dia selalu terlihat tenang, tapi aku tahu dia pasti memiliki beban yang lebih besar dari yang bisa dia tunjukkan.
Aku menundukkan kepala sejenak, mencoba meresapi apa yang dia katakan. Aku tidak tahu banyak tentang dirinya, tetapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa dia percaya, seseorang yang bisa dia ajak bicara ketika semuanya terasa berat.
"Aku ngerti," kataku akhirnya. "Kadang hidup memang terasa berat, dan kita nggak tahu harus ngapain. Tapi jangan ragu buat ngomong kalau kamu butuh teman."
Laras menoleh padaku lagi, dan kali ini, aku melihat senyum tipis yang muncul di wajahnya. Itu adalah senyum yang berbeda dari sebelumnya. Bukan senyum yang dingin atau penuh keraguan, melainkan senyum yang lebih hangat, yang seolah-olah berkata, "Terima kasih sudah ada di sini."
"Terima kasih," katanya pelan, lalu kembali menatap ke depan, seolah-olah kata-katanya itu sudah cukup untuk mewakili perasaan yang ada. "Aku nggak tahu kenapa, tapi kamu bikin aku merasa sedikit lebih ringan."
Aku merasa sedikit terkejut, tetapi juga senang mendengarnya. Meskipun kami tidak banyak berbicara, aku merasa seperti aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang siapa Laras sebenarnya. Dia bukanlah sosok yang mudah dipahami, tetapi aku merasa, meskipun dia tidak pernah menunjukkan banyak perasaan, ada sisi lain dalam dirinya yang mungkin hanya beberapa orang yang bisa melihatnya.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Laras berdiri. "Aku harus pergi," katanya, dan aku tahu itu berarti dia harus kembali ke dunia yang lebih sibuk dan lebih keras dari yang kami hadapi di taman belakang ini.
"Jaga diri," kataku, sebelum dia pergi, dan senyum tipis itu kembali muncul di wajahnya.
"Ya," jawabnya singkat, lalu dia berbalik dan berjalan pergi dengan langkah yang tenang.
Aku tetap duduk di bangku itu, merenung sejenak. Ada banyak hal yang belum aku pahami tentang Laras, tetapi aku tahu satu hal pasti—aku ingin berada di sisinya, membantu dia menghadapi segala sesuatu yang mungkin tak bisa dia ungkapkan. Mungkin kami berdua lebih mirip dari yang aku kira. Kadang, ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi perasaan itu ada, dan itu lebih kuat daripada apapun yang bisa kami ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Ficção AdolescenteLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...