Bab 12: Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pergi

1 0 0
                                    


Hari itu terasa lebih sepi dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu rumah, mataku kosong menatap layar ponsel yang hanya menampilkan notifikasi kosong—sama seperti pikiranku yang terasa tak terisi apa-apa. Laras tidak datang ke sekolah pagi itu. Aku sempat mencoba menghubunginya, tapi teleponnya tak terangkat. Aku merasa gelisah, dan kecemasan itu terus menggerogoti hatiku.

Sejak beberapa hari terakhir, aku tahu ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Laras mencoba keras untuk tetap terlihat tenang, tetapi semakin lama aku semakin bisa merasakan ketegangan yang dia sembunyikan. Apa pun yang terjadi, aku berjanji padanya bahwa aku akan selalu ada untuknya, tetapi kali ini aku mulai meragukan apakah itu cukup untuk menahannya.

Aku menatap jam dinding, menghitung detik yang berjalan terlalu lambat. Tiba-tiba ponselku bergetar, dan aku langsung melihat nama Laras muncul di layar. Tanpa pikir panjang, aku segera mengangkatnya.

"Halo?" suaraku terdengar cemas, dan aku bisa mendengar napas Laras yang terengah-engah di ujung sana.

"Raka..." suara Laras terdengar putus asa. "Aku butuh kamu."

Aku merasa hatiku terjepit. "Laras, di mana kamu? Apa yang terjadi?"

"Di tempat biasa," jawabnya dengan suara pelan. "Aku... aku nggak bisa melawan ini lagi, Raka. Dika sudah menemukanku."

Aku merasa seakan dunia berhenti berputar. Dika. Tentu saja, aku tahu ini akan terjadi. Tentu saja dia tidak akan membiarkan Laras pergi begitu saja. Tetapi meskipun aku tahu, aku tetap merasa terkejut, terhimpit oleh rasa takut yang lebih besar daripada yang pernah aku rasakan sebelumnya.

Aku mengumpulkan kekuatan untuk berkata, "Jangan khawatir. Aku akan datang sekarang juga."

Saat aku tiba di tempat yang biasa kami pilih untuk bertemu, aku bisa merasakan ketegangan yang begitu nyata. Laras berdiri di sudut jalan, matanya tampak gelisah, dan tubuhnya sedikit gemetar. Di sekitar kami, sepi—hanya ada suara angin yang berdesir di daun-daun pohon. Tapi di balik kesunyian itu, ada ancaman yang jelas terpendam.

"Laras," aku mendekat, meraih tangannya. "Kamu baik-baik saja?"

Laras hanya mengangguk, meskipun aku tahu itu hanya sebuah kedok. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Raka. Aku merasa seperti Dika mengendalikan semua langkahku, dan aku nggak bisa keluar dari sini."

Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu bisa, Lar. Aku akan selalu ada untuk kamu. Kamu nggak harus melawan ini sendirian."

Dia menunduk, wajahnya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. "Tapi aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku takut kalau aku melawan, aku akan kehilangan semuanya."

Aku menariknya mendekat, menggenggam tangan Laras dengan erat. "Kamu nggak akan kehilangan apapun, Lar. Kamu nggak akan kehilangan dirimu sendiri. Aku ada di sini. Kita akan hadapi semuanya bersama."

Namun, saat aku berbicara, aku merasa ada sesuatu yang mengintai di luar sana. Sesuatu yang lebih besar daripada apa pun yang kami hadapi. Dan meskipun aku berusaha meyakinkan Laras, hatiku sendiri dipenuhi dengan kecemasan. Aku tahu Dika tidak akan berhenti di sini.

Tiba-tiba, suara motor yang mendekat terdengar di kejauhan, dan aku bisa merasakannya—seseorang mendekat dengan kecepatan tinggi. Mataku langsung tertuju pada sosok yang muncul dari kegelapan malam. Motor itu berhenti tepat di depan kami, dan aku mengenalinya dengan segera.

Dika.

Dia turun dari motornya dengan langkah yang penuh keyakinan, mengenakan jaket kulit hitam yang tampak semakin menambah aura berbahayanya. Tatapannya penuh dengan ketegasan dan amarah yang tak bisa disembunyikan. Namun di balik itu, ada sesuatu yang lain—sebuah rasa memiliki yang lebih dalam daripada sekadar kebencian.

Laras menarik napas, matanya kembali terfokus pada Dika, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takut yang jelas terasa di udara. Dika tersenyum, meskipun senyuman itu tidak terasa ramah.

"Kamu kira bisa lari begitu saja?" suara Dika terdengar keras, penuh dengan nada tantangan. "Kamu pikir kamu bisa menghindar dari aku, Laras?"

Laras menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi aku bisa melihat kegelisahan yang semakin menguasai dirinya. Dia tidak ingin kembali ke dunia itu. Aku bisa merasakannya. Tapi Dika, dia adalah bayangan yang tidak mudah untuk dihindari.

"Aku nggak akan kembali," jawab Laras dengan suara yang agak gemetar. "Aku sudah cukup hidup di dunia itu. Aku nggak mau lagi."

Dika tertawa sinis, melangkah lebih dekat, dan menatap Laras dengan tatapan yang penuh dominasi. "Kamu nggak bisa keluar dari sini, Laras. Dunia ini sudah menguasai kamu. Kamu nggak bisa memilih selain kembali."

Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ini adalah titik terendah. Dika sudah menantang kami berdua, dan aku tahu bahwa jika kami tidak berhati-hati, kami akan terjebak dalam permainan yang sudah terlalu lama berlangsung.

"Tunggu, Dika," aku berkata, berusaha untuk tetap tenang. "Jangan paksa dia. Kalau ada yang harus dipilih, itu adalah Laras, bukan kamu. Laras punya hak untuk menentukan hidupnya."

Dika menatapku dengan penuh kebencian, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kamu pikir aku peduli dengan hak-hak seperti itu?" katanya sambil berjalan mendekat. "Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan."

Aku menahan napas, merasakan ketegangan itu semakin memuncak. Namun, aku tidak bisa mundur. Aku sudah berjanji untuk melindungi Laras, dan aku tidak akan membiarkannya kembali ke dunia yang kelam itu.

"Tapi Laras sudah memutuskan," jawabku tegas. "Dia memilih jalan ini. Tidak ada yang bisa mengubah itu."

Dika menatap Laras dengan mata yang penuh kemarahan, seakan mencari cara untuk mematahkan keputusan itu. Tetapi meskipun aku tahu dia mencoba untuk mengintimidasi kami berdua, aku juga tahu bahwa Laras sudah tidak bisa lagi dipaksa.

"Pergilah," kata Laras dengan suara yang penuh keyakinan. "Aku nggak akan kembali."

Ada keheningan sejenak di udara. Dika menatap kami berdua dengan tatapan tajam, kemudian menghela napas panjang. "Kamu akan menyesal, Laras," katanya, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

Setelah Dika pergi, Laras dan aku berdiri dalam keheningan yang tegang. Aku merasakan rasa lega yang sedikit, tetapi juga ketegangan yang masih membekas di udara.

"Terima kasih, Raka," katanya, suara yang sedikit bergetar. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku nggak bisa melakukan ini tanpa kamu."

Aku memegang bahunya dengan lembut, memberi dukungan yang dia butuhkan. "Kamu tidak sendiri, Laras. Kita akan melalui ini bersama."

Kami berdua berjalan meninggalkan tempat itu, tidak tahu apa yang akan datang, tetapi satu hal yang pasti—Laras sudah membuat keputusan besar, dan aku akan selalu berada di sampingnya, apapun yang terjadi.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang