Bab 19: Memulai Langkah Baru

1 1 0
                                    


Pagi itu terasa cerah, lebih cerah dari biasanya. Udara di luar terasa segar, seolah dunia sedang memberi kesempatan baru. Aku duduk di tepi jendela kamar, memandangi pemandangan kota yang mulai sibuk. Laras belum bangun, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Setelah segala yang kami lalui, aku merasa seperti inilah saatnya—waktu untuk menatap masa depan dengan lebih yakin.

Laras sudah banyak berubah. Tidak hanya dalam cara dia melihat dunia, tapi juga dalam cara dia melihat dirinya sendiri. Sejak hari pertemuan terakhir dengan Dika, aku melihat betapa dia mulai menyadari bahwa dia tidak harus terus berjuang melawan masa lalu. Dia sudah memutuskan untuk merangkai hidupnya kembali, satu langkah kecil demi satu langkah besar. Ada banyak perjalanan yang harus dia tempuh, tapi aku tahu dia tidak akan melakukannya sendirian.

"Aku masih takut," katanya beberapa hari yang lalu, saat kami duduk bersama di balkon rumahku, menatap langit sore yang perlahan berubah oranye.

Aku tahu apa maksudnya. Laras selalu merasa terjebak antara masa lalu dan masa depan. Tapi aku juga tahu bahwa dia tidak lagi terjebak dalam kebingungan yang sama seperti dulu. Meskipun ada ketakutan, ada keinginan dalam dirinya untuk melangkah ke depan.

Aku berjalan menuju tempat tidur dan duduk di sampingnya. Laras tersenyum saat melihatku, seolah membaca pikiranku.

"Kamu bangun lebih pagi dari biasanya," katanya dengan tawa ringan.

"Entahlah, rasanya hari ini berbeda," jawabku. "Kita harus mulai melakukan sesuatu. Mulai dari sekarang."

Laras menatapku dengan mata yang penuh makna. "Mulai dari sekarang, ya?" Dia mengulangi kata-kataku, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Aku mengangguk. "Iya. Hidup ini tidak akan berhenti menunggu kita. Tapi kita bisa memilih untuk bergerak maju."

Laras menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya untuk menatapku. "Aku pikir aku siap, Raka. Aku merasa siap untuk menghadapi apa pun, termasuk masa depanku. Dan kamu, tentu saja."

Kata-katanya membekas dalam hatiku. Ada sesuatu dalam diriku yang merasa lebih ringan mendengar itu. Selama ini, aku sudah menjadi pendukungnya, tapi dia juga sudah menunjukkan bahwa dia bisa berdiri sendiri. Aku tidak bisa menahan rasa bangga.

Hari-hari berlalu, dan kami mulai merencanakan masa depan kami. Tidak ada rencana besar atau keputusan yang langsung mengubah hidup, tapi kami tahu apa yang kami inginkan. Laras mulai melibatkan diri dalam kegiatan yang lebih dekat dengan minatnya—mencoba untuk belajar hal-hal baru, mengejar mimpinya tanpa rasa takut. Dan aku, aku lebih mendengarkan apa yang dia butuhkan daripada memaksakan pendapatku. Kami memberi ruang untuk masing-masing berkembang.

Suatu hari, setelah berbulan-bulan berjalan bersama, Laras mengajak aku untuk berbicara serius. Aku tahu sesuatu yang penting akan dia katakan.

"Raka," katanya dengan nada yang lebih serius. "Aku sudah berpikir banyak tentang apa yang aku inginkan. Tentang masa depanku. Tentang kita."

Aku menatapnya dengan perhatian penuh. "Apa yang kamu pikirkan?"

Laras tersenyum, dan ada kehangatan dalam tatapannya. "Aku pikir, aku ingin mulai lebih fokus pada hal-hal yang membuatku bahagia. Bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk diriku sendiri."

Aku tersenyum, merasa bangga dengan keputusan yang dia buat. "Itu luar biasa, Laras. Aku akan selalu mendukungmu, apapun yang kamu pilih."

Laras menggenggam tanganku, dan aku bisa merasakan betapa kuatnya dia saat itu. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Raka. Tapi aku merasa, aku harus menemukan jalan hidupku yang benar-benar milikku."

Kami terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang tercipta di antara kami. Ini adalah momen yang penting—momen ketika Laras akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan melihat bahwa dia tidak perlu menjadi apa yang orang lain inginkan, tapi hanya menjadi dirinya yang sejati.

Beberapa bulan setelah itu, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan langkah kami ke arah yang lebih jelas. Laras mendapatkan kesempatan untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan minatnya, dan aku semakin mendalami passion-ku di dunia musik. Kami masih sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang segala hal, mendukung satu sama lain dalam setiap pencapaian kecil yang kami raih.

Suatu malam, ketika kami duduk di tepi pantai, aku melihat Laras menatap langit dengan tatapan yang penuh harapan. Angin malam berhembus pelan, dan kami hanya menikmati keheningan itu, seperti dunia ini milik kami berdua.

"Raka," Laras berkata, suaranya penuh kebahagiaan. "Aku rasa, inilah yang aku cari selama ini. Aku nggak harus sempurna, tapi aku bisa bahagia dengan diri sendiri."

Aku tersenyum, mengangguk setuju. "Aku selalu tahu kamu bisa, Laras."

Kami berdua saling berpandangan, dan aku merasa seolah-olah aku bisa melihat masa depan kami yang terang. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi kami sudah cukup siap untuk menghadapinya. Kami sudah cukup kuat untuk bersama, tidak hanya sebagai pasangan, tapi juga sebagai individu yang saling mendukung.

Dan di malam itu, ketika kami berjalan bersama menuju rumah kami, aku merasa bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidup kami. Mungkin perjalanan kami tidak selalu mudah, tetapi kami sudah melewati banyak hal bersama. Dan itu membuat aku yakin bahwa apapun yang datang ke depan, kami akan menghadapinya bersama—dengan penuh cinta, harapan, dan kebahagiaan yang sudah kami temukan dalam diri kami sendiri.

Kami tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Kami tidak lagi merasa takut tentang apa yang akan terjadi. Kami hanya perlu melangkah maju, dengan keyakinan bahwa kami akan baik-baik saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang