Bab 17: Titik Balik

1 0 0
                                    


Aku berjalan menelusuri jalanan kota yang mulai sepi. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan hanya suara langkah kaki yang terdengar, diiringi oleh hembusan angin yang datang dari arah laut. Laras berjalan di sampingku, dengan wajah yang tampak serius, namun lebih tenang dibandingkan beberapa hari lalu. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, meskipun aku tidak bisa memastikannya. Mungkin ini yang disebut dengan titik balik—ketika seseorang akhirnya menemukan keberanian untuk mengambil langkah besar dan memutuskan untuk benar-benar melangkah maju.

"Raka," Laras memulai, suaranya lembut, tetapi aku bisa merasakan ketegangan yang ada di dalamnya. "Aku harus bicara sama Dika."

Aku menoleh ke arahnya. "Maksudmu?" tanyaku, sedikit bingung.

"Kita harus bertemu," jawabnya. "Aku nggak bisa terus lari dari kenyataan ini. Dika nggak akan berhenti kalau aku nggak jelasin semuanya dengan jelas."

Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. Sejak pertama kali Laras bercerita tentang Dika, aku tahu dia sudah berusaha untuk menjauh, untuk melepaskan semua kenangan itu. Tapi tidak mudah. Ada banyak hal yang masih tersisa, seperti benang-benang tak terlihat yang terus menariknya kembali.

"Kalau itu yang kamu rasa perlu, aku nggak akan menghalangi," kataku akhirnya, walaupun dalam hati aku merasa ragu. Aku tahu betul, bertemu dengan Dika akan membuka kembali luka lama, baik untuk Laras maupun untuk dirinya sendiri. Tapi aku juga tahu, ini adalah bagian dari proses yang harus dia jalani.

Laras berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh kebingungan. "Tapi aku nggak tahu, Raka. Aku takut kalau aku nggak bisa bertahan. Aku takut kalau aku malah jatuh lagi ke dalam perangkapnya."

Aku menggenggam tangannya, merasakan ketegangan yang ada di sana. "Laras, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Dika mungkin bisa mengganggu pikiranmu, tapi kamu yang memegang kendali atas perasaanmu. Aku percaya kamu bisa menghadapi ini."

Laras mengangguk perlahan, dan aku tahu dia sedang berjuang dengan pikirannya. Tapi dia juga tahu, dia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan kebingungannya. Inilah saatnya untuk mengambil keputusan tegas dan memberi penutupan yang selama ini dia butuhkan.

Ketika kami sampai di tempat yang sudah kami sepakati, aku melihat Dika sudah berada di sana, duduk di bangku taman. Di matanya, aku bisa melihat sedikit rasa kecewa, tetapi juga ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak bisa aku mengerti. Dika bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku tahu dia masih merasa bahwa Laras adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa dia lepaskan begitu saja.

Laras berjalan mendekat, langkahnya sedikit ragu-ragu, tetapi aku bisa merasakan ada tekad dalam setiap gerak tubuhnya. Aku mengikuti di belakangnya, berusaha memberikan ruang bagi Laras untuk berbicara dengan Dika. Dia sudah memutuskan untuk bertemu, dan ini adalah waktunya.

Dika menatap Laras dengan tatapan yang campur aduk—ada kesedihan, ada kebingungan, tetapi juga ada keinginan untuk mendapatkan penjelasan yang sudah lama dia tunggu. "Laras," katanya, suaranya rendah dan penuh dengan ketegangan, "kenapa kamu harus lari? Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa? Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?"

Laras berhenti beberapa langkah di depannya, matanya menatap Dika dengan serius. "Aku nggak lari, Dika. Aku cuma nggak bisa terus terjebak di masa lalu. Aku harus move on. Aku harus hidup untuk diriku sendiri."

Dika terdiam, seolah mencoba menyerap kata-kata Laras. Aku bisa melihat, meskipun Dika mencoba terlihat kuat, dia juga terluka. Laras dan Dika sudah terlalu lama terikat, dan meskipun mereka berdua sudah berusaha untuk melepaskan satu sama lain, ada bagian dari diri mereka yang masih merasa saling membutuhkan.

"Aku nggak bisa terima," kata Dika akhirnya, suara dan ekspresinya mulai terdengar lebih keras. "Kamu pikir kamu bisa bahagia tanpa aku? Kamu pikir aku bisa nerima kalau kamu begitu saja pergi, Laras?"

Laras menunduk, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kita, Dika. Kita sudah berakhir. Kamu nggak bisa mengendalikan hidupku lagi. Aku nggak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik saja."

Aku bisa melihat Dika meremas tangan di sampingnya, matanya mulai terlihat basah. Dia berjuang dengan perasaan yang sulit untuk dia kendalikan. Tapi aku tahu, Laras sudah cukup kuat untuk menghadapi ini.

"Maaf," Laras berkata dengan suara yang lembut, tapi penuh tekad. "Aku harus melepaskanmu, Dika. Aku harus memilih hidupku sendiri."

Dika terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat dia benar-benar menyerah. Ada keheningan yang panjang antara mereka. Laras menoleh padaku, dan aku bisa melihat kelegaan mulai mengalir di wajahnya. Mungkin ini yang dia butuhkan—penutupan. Mungkin ini yang bisa memberinya kebebasan untuk melangkah maju.

"Aku pergi," kata Dika akhirnya, suaranya lebih pelan, seperti menerima kenyataan yang tidak ingin dia terima. "Aku nggak akan ganggu kamu lagi."

Laras hanya mengangguk. "Terima kasih."

Setelah pertemuan itu, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam diri Laras. Meskipun dia masih terpengaruh oleh perasaan yang sudah lama ada, aku bisa melihat dia lebih tenang. Seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Mungkin ini adalah bagian dari proses yang dia butuhkan—untuk akhirnya benar-benar menutup bab itu.

Kami berjalan pulang bersama, dan aku bisa melihat senyum kecil di wajahnya. Bukan senyum yang penuh kebahagiaan, tapi senyum yang lebih kepada penerimaan—bahwa segala sesuatunya tidak harus sempurna untuk bisa berjalan maju. Bahwa kita tidak selalu bisa menghindari luka, tapi kita bisa memilih untuk tidak terjebak dalam luka itu selamanya.

Laras berhenti sejenak di depan rumahku, menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih sudah ada di sini, Raka," katanya dengan suara yang lembut. "Aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu."

Aku tersenyum dan meraih tangannya. "Kamu nggak perlu khawatir, Laras. Aku ada di sini, dan aku akan terus ada."

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin malam yang berhembus. Aku tahu, meskipun jalan kami belum selesai, ini adalah langkah besar yang telah Laras ambil. Dan aku siap untuk mendampinginya, apapun yang terjadi.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang