Setelah pertemuan kami yang terakhir di taman belakang, segala sesuatunya terasa sedikit lebih tenang, tapi juga semakin rumit. Laras mungkin tidak menunjukkan banyak perasaan secara langsung, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sesuatu yang lebih dalam, meskipun dia berusaha keras untuk menutupinya. Aku bisa melihatnya di matanya, di setiap gerakan kecilnya. Ada ketegangan yang mengendap, seolah-olah dia sedang menanggung beban yang lebih berat daripada yang bisa dia ungkapkan.
Namun, meskipun begitu, kami berdua semakin sering menghabiskan waktu bersama. Entah itu hanya duduk bersama di bangku taman yang sama, atau kadang-kadang berjalan pulang bersama setelah sekolah. Aku masih merasa ada jarak yang harus kami lewati, tetapi kami mulai berbicara lebih banyak, dan semakin lama, semakin aku merasakan bahwa dia mulai mempercayai aku.
Suatu hari, setelah pelajaran olahraga yang melelahkan, aku melihat Laras berdiri sendirian di pinggir lapangan, memandangi teman-temannya yang sudah pada berkumpul. Dia tampak jauh, seolah berada di dunia yang berbeda dari yang lainnya. Aku mengamati dirinya dari jauh, mencoba memahami apa yang sedang dipikirkannya. Sejak kejadian beberapa minggu lalu di taman, aku merasa ada sesuatu yang belum dia ceritakan padaku, sesuatu yang terus mengganggunya, tetapi dia tidak pernah membicarakannya.
Aku memutuskan untuk mendekatinya.
"Laras," aku memanggilnya pelan, sedikit ragu. Biasanya, dia tidak suka kalau orang mengganggu ketenangannya, tapi kali ini, aku merasa harus mencoba.
Dia menoleh ke arahku dengan ekspresi datar. "Apa?" jawabnya singkat, matanya masih tampak sedikit kosong, meskipun aku bisa melihat kelelahan di baliknya.
"Ada apa?" tanyaku lagi, berusaha lebih lembut. "Kamu kelihatan nggak enak."
Laras menunduk, seolah berpikir sejenak. "Nggak ada yang salah," jawabnya, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya. "Cuma... aku capek."
Aku bisa merasakan bahwa jawabannya itu hanyalah topeng. Laras bukan tipe orang yang mudah mengeluh, dan aku tahu dia sedang menahan banyak hal. Ada yang lebih dalam, dan aku tahu dia tidak akan membiarkan aku masuk begitu saja ke dalam dunianya, tapi entah kenapa, aku merasa semakin ingin tahu.
"Kamu nggak harus sembunyi," kataku, mencoba untuk lebih dekat dengannya. "Aku nggak akan menghakimi."
Laras terdiam beberapa detik, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Kamu nggak akan mengerti," jawabnya pelan. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Aku bisa melihat bahwa kata-katanya itu benar-benar berasal dari hatinya, dan aku merasa sedikit cemas. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi aku tahu itu lebih dari sekadar sekumpulan masalah biasa. Laras menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar dari itu.
"Mulai dari mana saja. Mungkin kalau kamu cerita, bisa sedikit lega," kataku, berusaha menenangkan. "Aku di sini. Kamu nggak sendirian."
Laras menatapku lama, seolah mencerna kata-kataku. Lalu dia mengangguk perlahan, tetapi tetap saja ada keraguan di matanya. "Aku... aku nggak tahu harus ngomong apa," katanya akhirnya.
Kami berdua berdiri di sana, beberapa detik yang terasa panjang, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memecah keheningan itu.
"Jika kamu butuh waktu, aku bisa tunggu. Tapi kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri," kataku, menatapnya dengan serius.
Laras mengangguk sekali lagi, tetapi kali ini senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang sangat jarang kulihat. "Terima kasih, Raka," katanya singkat.
Tapi setelah itu, dia berjalan menjauh, dan aku hanya bisa berdiri di sana, merasa sedikit bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tahu aku tidak bisa memaksanya untuk berbicara, tapi aku merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik sikapnya yang selalu menutup diri.
Setelah hari itu, kami tidak banyak berbicara seperti sebelumnya. Laras tetap seperti biasa, datang ke taman, duduk bersama, tetapi selalu ada jarak di antara kami—jarak yang tidak bisa kami hilangkan begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana, apakah aku harus menunggu sampai dia siap, atau apakah aku harus sedikit memaksanya untuk membuka diri lebih banyak.
Namun, suatu hari, saat aku sedang berjalan menuju taman seperti biasa, aku melihat sesuatu yang berbeda. Laras sedang duduk di bangku, tetapi kali ini ada seseorang yang duduk di sampingnya—seorang laki-laki yang aku kenal, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Laki-laki itu, namanya Dika, adalah salah satu teman sekelas kami yang selalu bergaul dengan geng yang agak kasar. Aku tidak tahu banyak tentang Dika, tetapi aku tahu dia bukan orang yang baik-baik. Kami sering melihatnya berkelahi atau terlibat dalam perkelahian yang tidak seharusnya terjadi. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan kedekatan mereka berdua, dan aku mulai merasakan ketegangan yang muncul dalam diriku.
Aku berjalan lebih dekat, mencoba untuk mendekat tanpa diketahui, tetapi aku bisa melihat dari jarak jauh bahwa Dika sedang berbicara dengan Laras dengan suara yang agak keras. Aku merasa cemas, dan langkahku pun semakin cepat tanpa aku sadari. Ketika aku akhirnya tiba di dekat mereka, Dika langsung berdiri dan tersenyum sinis padaku, seolah dia sudah menunggu kehadiranku.
"Raka, kamu datang juga?" Dika menyapa dengan nada yang sepertinya sengaja ingin membuatku merasa tidak nyaman.
Aku menatapnya, lalu menoleh ke Laras yang hanya duduk dengan pandangan kosong. "Ada apa?" tanyaku, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku mulai berdebar.
Laras menunduk, tidak mengatakan apa-apa. Dika menepuk bahunya dengan kasar. "Nggak ada apa-apa, cuma ngobrol biasa," jawab Dika dengan nada yang agak mengejek.
Tapi aku tahu ada yang salah. Aku bisa merasakan ketegangan yang ada di udara. Laras tidak terlihat nyaman, dan aku bisa merasakannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku merasa perlu untuk melindunginya, meskipun aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya.
"Ayo, Laras," kataku, mencoba membujuk. "Kita pergi."
Laras menoleh padaku, dan aku bisa melihat sesuatu yang aneh di matanya. Seperti ada pertentangan besar dalam dirinya, tetapi dia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dan berjalan pergi tanpa berkata apa-apa.
Dika hanya tersenyum sinis melihat kami berdua berjalan menjauh. Aku merasa cemas, tetapi aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan itu. Aku tahu kami tidak bisa menghindari masalah ini begitu saja. Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan aku merasa Laras semakin terjebak dalam dunia yang tidak dia inginkan.
Kami berdua berjalan dalam keheningan. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, Laras akhirnya berbicara pelan.
"Aku nggak ingin ribut dengan Dika," katanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Aku menoleh padanya, mencoba untuk melihat ekspresinya. "Tapi kenapa dia ada di sini?" tanyaku, merasa bingung.
Laras menghela napas panjang. "Dia... dia hanya ingin ngobrol," jawabnya singkat. Tapi aku bisa merasakan bahwa ada lebih banyak dari itu, dan aku merasa semakin khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...