Bab 10: Di Antara Dua Dunia

1 0 0
                                    


Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus berputar, seperti roda yang tak pernah berhenti berputar. Laras, di sisiku, tampak sudah tertidur dengan tenang. Matanya terpejam, tetapi aku tahu itu hanya luarannya saja. Di dalam, ada ribuan ketakutan yang terus menggerogoti. Aku bisa merasakannya, meski dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun. Laras adalah perempuan yang kuat, tapi dia juga rapuh. Dalam sekejap, bisa berubah menjadi wanita yang begitu tegar, namun sekejap kemudian, ia bisa terlihat sangat rapuh.

Pagi hari, aku berusaha menenangkan diriku, berharap semuanya akan lebih baik setelah pertemuan dengan Dika kemarin. Tapi kenyataannya, aku tahu ini bukan akhir. Ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang dan lebih berat. Aku tahu Dika tidak akan menyerah begitu saja. Dan meskipun Laras sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dirinya dari cengkraman masa lalu, masa lalu itu tidak pernah mudah untuk diabaikan begitu saja.

Hari-hari setelah pertemuan dengan Dika terasa berat. Laras tidak banyak berbicara, meskipun aku tahu dia berusaha untuk tampak tenang. Aku bisa melihat perubahan dalam dirinya—seolah ada beban yang lebih besar yang kini ia bawa. Dia tidak lagi seceria dulu, meskipun masih ada senyum di wajahnya. Senyum itu kini terasa lebih paksa, seolah dia berusaha menutupi apa yang ada di dalam hatinya.

Pagi itu, aku menunggu Laras di depan kelas seperti biasa. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Laras berjalan menuju ke arahku. Wajahnya tampak lelah, dan matanya sedikit sayu. Tapi dia tetap tersenyum tipis, seperti biasa.

"Hei," sapaku dengan suara pelan.

Laras mengangguk dan duduk di sampingku. "Hai, Raka."

Aku menatapnya, mencoba menangkap perasaan yang tersembunyi di balik senyumannya. "Kamu oke?" tanyaku hati-hati.

Dia mengangguk lagi, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Aku juga tahu, ada banyak hal yang belum ia ceritakan padaku, banyak hal yang masih terpendam dalam dirinya. Namun aku tidak bisa memaksanya untuk berbicara lebih banyak. Aku tahu, Laras hanya akan berbicara ketika dia benar-benar siap.

Saat jam istirahat tiba, aku mengajak Laras untuk berjalan keluar dan duduk di tempat yang lebih sepi. Kami berdua duduk di bawah pohon besar di halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya sepi dan tenang. Di sana, aku mulai bisa merasakan kedekatan yang lebih dalam antara kami berdua.

"Apa yang akan terjadi sekarang, Lar?" tanyaku setelah beberapa saat.

Laras tidak langsung menjawab. Dia menatap langit, seolah mencari jawaban di sana. "Aku nggak tahu, Raka," katanya akhirnya, suara yang terdengar lemah. "Aku merasa seperti aku baru saja membuka pintu ke dunia yang berbeda. Tapi dunia itu nggak mudah untuk dijalani. Aku harus siap menghadapi kenyataan bahwa Dika nggak akan pernah membiarkan aku pergi begitu saja."

Aku menggenggam tangannya, memberi sedikit ketenangan. "Apa pun yang terjadi, aku ada di sini. Kamu nggak harus hadapi itu sendirian, Lar."

Laras menatapku, matanya seakan mencari-cari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Raka. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku merasa sedikit lebih ringan setelah kita bicara."

Tapi meskipun aku merasa sedikit lega, aku tahu pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai. Dika bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Dia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap hidup Laras, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—aku tidak akan membiarkan Laras menghadapi semua ini sendirian.

Malam itu, aku tidak bisa tidur lagi. Pikiranku kembali teralihkan pada Dika, pada dunia yang telah lama meninggalkan jejaknya di hidup Laras. Aku tahu dunia itu belum benar-benar pergi, dan aku juga tahu, jika aku tidak berhati-hati, aku bisa terperangkap dalam dunia itu tanpa bisa keluar lagi.

Namun aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku tidak bisa membiarkan Laras terus hidup dalam bayang-bayang Dika. Aku sudah berjanji padanya, dan aku akan menepati janji itu. Bagaimanapun caranya, aku akan mendampinginya, meskipun itu berarti aku harus menghadapi dunia yang sangat asing bagiku.

Hari-hari berlalu, dan meskipun aku mencoba untuk tetap mendukung Laras, aku bisa merasakan tekanan yang semakin besar. Dika masih ada di luar sana, menunggu, seperti predator yang siap memangsa. Aku bisa merasakan bahwa dia mulai menggerakkan orang-orang di sekitarnya untuk mencari cara agar Laras kembali ke dunia yang telah dia tinggalkan.

Pada suatu sore, saat kami sedang duduk di taman sekolah, Laras menerima telepon dari seorang nomor yang tidak dikenal. Ketika dia mengangkatnya, aku bisa melihat ekspresi wajahnya berubah seketika. Ada ketegangan yang tiba-tiba muncul, dan aku bisa merasakan bahwa ini bukan kabar baik.

Laras menutup telepon itu dengan ekspresi yang sangat gelap, wajahnya pucat. "Raka," katanya pelan, "Dika... dia tahu aku kemari hari itu."

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. "Apa maksudmu?" tanyaku.

Laras menggelengkan kepala, seolah kebingungan dengan perasaan yang sedang membingungkannya. "Dika bilang, aku nggak bisa lepas dari masa lalu ini begitu saja. Dia bilang, aku akan kembali."

Aku merasakan ketegangan yang mulai memuncak dalam diri Laras. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku pelan.

Dia menatapku, matanya penuh kebingungan dan ketakutan. "Aku nggak tahu, Raka," katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Aku takut kalau aku nggak bisa keluar lagi."

Aku menggenggam tangannya, memberikan sedikit kehangatan yang bisa menenangkan hatinya. "Apapun yang terjadi, aku akan ada di sini. Kita akan hadapi ini bersama, Lar. Aku nggak akan membiarkan kamu kembali ke tempat itu."

Setelah malam itu, Laras tidak banyak bicara lagi. Dia semakin terperangkap dalam ketakutannya sendiri, dan aku tahu bahwa Dika tidak akan berhenti sampai dia berhasil menarik Laras kembali ke dunia yang selama ini ia coba lupakan. Tapi aku berjanji padanya—aku tidak akan membiarkannya melawan ini sendirian.

Dan aku akan menepati janji itu, apapun yang terjadi.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang