Bab 18: Penyelesaian dan Pemulihan

1 0 0
                                    


Aku duduk di ruang tamu, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Laras belum datang pagi ini, dan entah kenapa aku merasa sedikit gelisah. Setiap kali dia pergi sendiri, ada perasaan cemas yang selalu menyertai. Tapi, aku tahu itu adalah bagian dari prosesnya. Setelah pertemuan dengan Dika beberapa hari lalu, Laras lebih sering memilih untuk menyendiri, memikirkan banyak hal.

Namun, aku tidak bisa menahan diri. Aku tahu, meskipun dia berusaha tampak kuat, ada banyak hal yang masih harus dia selesaikan dalam dirinya. Dan meskipun dia sudah memberi penutupan pada hubungan dengan Dika, aku bisa merasakan bahwa perjalanan Laras belum sepenuhnya selesai.

Hari itu, aku memutuskan untuk menunggu di kafe favorit kami, tempat di mana kami biasa menghabiskan waktu bersama setelah sekolah. Tempat ini selalu terasa spesial, karena di sini kami bisa berbicara tentang banyak hal tanpa ada yang mengganggu.

Aku tak lama menunggu sebelum Laras datang. Ada sedikit perasaan lega saat melihat wajahnya, meskipun aku bisa melihat kelelahan di matanya. Dia duduk di seberangku tanpa berkata apa-apa, hanya mengangkat cangkir kopi yang terhidang di meja.

"Raka," Laras memulai, suaranya tenang, tetapi ada sedikit kesedihan yang masih tersirat. "Aku pikir aku sudah siap untuk semua ini. Tapi... terkadang, aku merasa seperti aku masih terjebak. Aku masih sering berpikir tentang masa lalu, dan itu bikin aku merasa nggak lengkap."

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba untuk memahami perasaan yang sedang dia alami. Terkadang, meskipun kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan, ada kenangan yang sulit hilang begitu saja.

"Aku nggak ingin kamu merasa terjebak, Laras," jawabku perlahan. "Masa lalu itu memang nggak mudah untuk dihapus, tapi kamu bisa memilih untuk tidak membiarkan itu mengontrol hidupmu lagi. Kamu sudah berusaha, dan itu hal yang besar."

Laras menatapku sejenak, seolah mencari kepastian dalam kata-kataku. "Tapi aku merasa seperti aku kehilangan sebagian dari diriku, Raka. Selama ini, aku terlalu fokus untuk melepaskan Dika dan menghindari segala yang berhubungan dengan dia, sampai aku lupa untuk memikirkan diriku sendiri. Aku tidak tahu lagi siapa aku tanpa dia."

Aku bisa merasakan betapa beratnya pergulatan batin yang dia alami. Terkadang, melepaskan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup kita bertahun-tahun itu lebih sulit daripada yang kita bayangkan. Terlebih, bagi Laras, Dika bukan hanya sosok yang pernah dia cintai, tapi juga sesuatu yang sulit diabaikan begitu saja.

"Perasaan itu wajar, Laras," kataku dengan lembut. "Kamu nggak bisa langsung melupakan atau mengabaikan semuanya begitu saja. Tapi kamu bisa memberi dirimu waktu untuk mengenal dirimu sendiri tanpa beban masa lalu. Kita semua butuh waktu untuk sembuh, dan aku yakin, kamu akan menemukan siapa dirimu sendiri."

Laras terdiam, seolah mencerna setiap kata yang keluar dariku. Setelah beberapa detik, dia menundukkan kepalanya, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. "Aku hanya takut, Raka. Takut kalau aku nggak bisa menjadi diriku yang dulu. Takut kalau aku nggak bisa kembali menjadi orang yang aku inginkan."

Aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Laras, kamu tidak harus kembali ke siapa kamu dulu. Kamu hanya perlu menjadi dirimu yang sekarang. Semua perubahan itu adalah bagian dari perjalananmu. Tidak ada yang salah dengan itu."

Laras mengangkat wajahnya, dan kali ini aku bisa melihat sedikit cahaya di matanya. Sepertinya dia mulai merasa sedikit lebih tenang, meskipun masih ada kebingungannya. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan, Raka," katanya, sambil tersenyum kecil. "Tapi kadang, aku merasa seperti aku nggak layak mendapatkannya."

"Jangan pernah berpikir seperti itu," jawabku, sedikit lebih tegas. "Kamu layak mendapatkan kebahagiaanmu sendiri. Tidak ada yang lebih penting daripada kamu bisa menemukan kedamaian dalam dirimu sendiri."

Beberapa hari setelah percakapan itu, Laras mulai menunjukkan perubahan yang lebih besar. Dia lebih sering tersenyum, lebih terbuka, dan meskipun masih ada saat-saat di mana dia terlihat lelah atau merenung, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Aku merasa dia mulai belajar untuk menerima masa lalunya, bukan untuk menghapusnya, tapi untuk hidup berdampingan dengan kenangan itu tanpa membiarkannya menguasai hidupnya.

Hari itu, kami berjalan bersama di taman kota. Udara sejuk membuat suasana terasa lebih nyaman. Laras berjalan di sampingku dengan langkah yang lebih ringan, dan aku bisa merasakan energi positif yang dia pancarkan.

"Terkadang aku merasa seperti hidupku baru dimulai lagi," kata Laras, suaranya ceria. "Aku bisa mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda."

Aku tersenyum mendengarnya. "Aku senang mendengarnya, Laras. Kamu sudah membuat langkah besar."

Laras menoleh padaku, matanya bersinar. "Aku tahu, dan aku nggak akan berhenti di sini. Aku masih banyak yang harus dipelajari, tapi aku siap untuk melanjutkan."

Kami berdua berjalan tanpa terburu-buru, menikmati kebersamaan itu. Laras mungkin belum sepenuhnya bebas dari bayang-bayang masa lalunya, tapi dia sudah berada di jalan yang benar. Dan itu lebih dari cukup bagiku. Kami berdua tahu, perjalanan ini tidak akan selalu mulus. Tetapi selama kami bisa saling mendukung dan memahami, kami akan bisa melalui apa pun yang datang.

Beberapa minggu kemudian, kehidupan kami terasa lebih stabil. Laras semakin yakin dengan pilihan-pilihannya, dan meskipun Dika kadang masih mengirim pesan atau muncul dalam pikirannya, dia sudah bisa menghadapinya dengan lebih tegar. Tidak ada lagi ketakutan yang menghantui setiap langkahnya. Laras mulai mengerti bahwa dia tidak harus memilih antara masa lalu dan masa depan. Dia bisa memilah keduanya, dan itu sudah cukup untuk membawa kedamaian dalam hidupnya.

Aku merasa bangga dengan apa yang Laras capai. Bukan hanya karena dia bisa melepaskan Dika, tapi juga karena dia berhasil menemukan kekuatan untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Dan itu adalah hal yang paling penting—untuk bisa hidup dengan damai dengan siapa kita sebenarnya, tanpa terikat pada apapun yang bisa merusak kebahagiaan kita.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang