Hari-hari yang kulalui bersama Laras semakin terasa pelik. Setiap kali aku mencoba mendekatinya, aku merasa ada semacam tembok yang semakin tinggi di antara kami, tembok yang tak bisa kutembus meski aku berusaha keras. Aku bisa melihatnya, bagaimana Laras selalu menghindar—seolah ada banyak bagian dari dirinya yang tidak bisa kuakses. Walau kami sering bertemu, ada sesuatu yang tetap mengganjal, sesuatu yang membuat hubungan kami terasa penuh keraguan.
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumahku, menatap layar ponselku yang kosong. Ada pesan dari Laras, yang baru saja kuketahui beberapa menit lalu, tetapi tidak berani kubaca. Aku merasa bingung, ragu apakah aku harus membuka pesan itu atau tidak. Setiap kali aku merasa dekat dengan Laras, ada perasaan yang sangat kuat mengalir—sesuatu yang tidak bisa kupahami sepenuhnya. Aku hanya tahu, dia adalah seseorang yang bisa membuatku merasa sangat berarti, tetapi pada saat yang sama, dia adalah orang yang paling sulit kupecahkan teka-tekinya.
Akhirnya, aku membuka pesan dari Laras. "Mau ketemu di taman lagi nanti?" isinya singkat, tanpa embel-embel apapun. Aku merasa lega, tetapi sekaligus cemas. Ada sesuatu di balik kata-kata itu, sebuah harapan atau mungkin permintaan untuk mencari kedamaian.
Aku memutuskan untuk segera keluar. Langkah kakiku terasa berat ketika aku berjalan menuju taman belakang sekolah. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku merasa harus pergi—harus bertemu Laras.
Sesampainya di taman, aku melihat Laras sudah duduk di bangku seperti biasa, tetapi kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Ada kecemasan yang jelas tergambar di matanya, dan aku tahu dia sedang berjuang dengan sesuatu yang besar.
"Laras," aku menyapanya pelan.
Dia menoleh sedikit, tetapi hanya dengan tatapan kosong. "Kamu datang juga," jawabnya tanpa ekspresi. Suaranya terdengar seperti sesuatu yang tertahan—suaranya agak serak, seperti dia baru saja menangis.
Aku duduk di sampingnya, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku mulai gelisah. "Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, dengan nada hati-hati.
Laras terdiam sejenak, memandangi jari-jarinya yang menggenggam erat tasnya. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Raka," katanya akhirnya, suaranya hampir pecah. "Aku takut kalau aku cerita semuanya, kamu akan jauh dari aku."
Aku menatapnya dengan serius. "Aku nggak akan jauh, Laras. Kamu nggak perlu takut," jawabku, berusaha menenangkan. "Aku di sini untuk kamu."
Laras menghela napas panjang, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat dalam dirinya. Dia tidak langsung menjawab, tetapi tatapannya semakin jauh, seperti melihat ke masa lalu yang penuh bayang-bayang. Aku tidak tahu pasti, tetapi aku merasa dia sedang berjuang dengan sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang selama ini dia coba sembunyikan.
"Aku..." Laras mulai berbicara, suaranya bergetar, "Aku nggak pernah cerita tentang keluargaku, kan?"
Aku mengangguk, tidak berkata apa-apa. Ini adalah kali pertama Laras membuka pembicaraan tentang keluarganya, dan aku tahu itu adalah topik yang sangat sensitif baginya. "Aku... aku nggak pernah merasa cukup untuk mereka. Mereka selalu punya harapan yang tinggi, harapan yang besar buat aku," lanjutnya, mata Laras mulai berkaca-kaca.
Aku bisa merasakan ketegangan yang sangat besar di dalam dirinya, seolah-olah kata-kata yang akan dia ucapkan sangat berat untuk diungkapkan. "Tapi mereka nggak tahu apa yang aku rasakan, Raka. Mereka nggak tahu bahwa hidupku jauh lebih rumit dari yang mereka kira. Mereka hanya tahu untuk mendorong aku mencapai apa yang mereka inginkan. Mereka nggak pernah peduli dengan apa yang aku inginkan."
Laras terdiam, menundukkan kepala sejenak. Aku menunggu, memberi ruang baginya untuk melanjutkan. Tidak ada yang perlu terburu-buru. Dia harus melakukannya dengan cara dan waktunya sendiri.
"Aku dulu sempat ada di tempat yang salah," kata Laras, suaranya semakin lemah. "Di jalan yang salah. Aku berteman dengan orang-orang yang membuatku merasa... terperangkap. Mereka yang mengajarkan aku banyak hal yang nggak seharusnya aku tahu. Dan itu membuat hidupku semakin kacau."
Aku merasa sedikit terkejut, tetapi aku tidak ingin memotong pembicaraannya. Aku duduk dengan tenang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku bisa melihat betapa beratnya masa lalu yang dia simpan.
"Ada seorang lelaki," Laras melanjutkan, "yang... yang selama ini membuatku merasa lebih terperangkap. Dia adalah bagian dari geng yang aku kenal dulu. Dika—mungkin kamu tahu dia?" Laras menatapku, dan aku bisa melihat kelelahan yang mendalam di matanya.
Aku terdiam sesaat, mengenali nama itu. Dika adalah nama yang tidak asing bagi siapa pun di sekolah. Orang yang suka berkelahi, suka mencari masalah, dan selalu ada di tengah keributan. Aku tidak tahu banyak tentang dia, tetapi aku tahu bahwa dia bukan tipe orang yang bisa dipercaya.
"Dia yang membuat hidupku jadi lebih rumit. Aku nggak pernah bisa mengatakan tidak kepadanya, dan setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti nggak punya pilihan lain," Laras melanjutkan, suaranya lebih rendah. "Aku takut kalau aku terus terlibat dengan dia, hidupku akan semakin terjerumus ke dalam kegelapan. Tapi aku nggak tahu bagaimana caranya keluar."
Aku merasa sangat prihatin mendengarnya. Ternyata, Dika bukan hanya sekadar teman sekelas atau orang biasa bagi Laras. Dia adalah bagian dari masa lalu Laras yang kelam—masa lalu yang ingin dia lupakan, tetapi terus menghantuinya.
"Aku tahu sekarang, aku harus keluar dari semua itu," Laras melanjutkan, tatapannya semakin tajam. "Aku harus mengubah hidupku. Tapi kadang, itu terasa sangat sulit."
Aku menggenggam tangannya, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. "Kamu nggak harus melakukannya sendirian, Laras," kataku, suaraku penuh pengertian. "Aku ada di sini untuk kamu. Kamu nggak harus melewati ini sendirian."
Laras menatapku lama, dan aku bisa melihat ada sedikit harapan yang mulai tumbuh di matanya. "Terima kasih, Raka," katanya pelan, "Tapi aku nggak tahu... kalau aku bisa melakukannya."
Kami berdua terdiam. Hari itu, aku merasa ada sesuatu yang sedikit berubah. Laras mulai membuka dirinya, sedikit demi sedikit. Meskipun dia masih jauh dari mengungkapkan semuanya, aku merasa bahwa dia sudah mulai mempercayai aku, dan itu adalah langkah besar.
"Aku akan berusaha," Laras akhirnya berkata, suaranya terdengar lebih mantap. "Aku akan berusaha untuk mengubah semuanya. Dan aku berharap kamu tetap ada di sini."
"Aku akan tetap ada," jawabku pasti. "Aku janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...