Hari itu, cuaca cerah. Langit biru tanpa awan seolah-olah mencoba memberi Laras sedikit ruang untuk bernapas, seolah dunia turut mendukung keputusan yang dia ambil. Tapi aku tahu, meskipun di luar semuanya tampak baik-baik saja, di dalam diri Laras, ketegangan itu masih terus ada. Sejak percakapan di kafe semalam, aku merasa ada perubahan, tapi bukan berarti semuanya sudah selesai. Keputusan besar yang diambil Laras untuk benar-benar meninggalkan Dika bukan hal yang mudah, dan kami berdua tahu, banyak yang harus kami hadapi.
Aku mengingatkan diriku sendiri untuk tetap sabar. Kadang, dalam hubungan seperti ini, perasaan tidak bisa dipaksakan. Meskipun aku ingin Laras merasa tenang, meskipun aku ingin dia tahu bahwa dia tidak sendirian, aku juga harus memberi ruang baginya untuk menjalani prosesnya. Kami berdua tahu, ini bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi masa lalu dan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Saat aku menuju tempat kerja di pagi hari, aku sempat menerima pesan dari Laras. Itu hanya satu kalimat, tapi cukup membuatku terdiam beberapa detik.
"Aku rasa aku butuh bicara."
Aku segera membalasnya.
"Pukul 6 sore? Aku akan menunggu di tempat biasa."
Di luar, suasana kota tidak berbeda dengan hari-hari biasanya. Orang-orang berlalu-lalang, mobil-mobil melaju dengan kecepatan tinggi, dan udara terasa hangat meskipun baru beberapa minggu lalu hujan deras mengguyur. Aku merasakan waktu berjalan dengan cepat. Rasanya, meskipun banyak hal yang sudah kami lewati, semuanya masih terasa seperti mimpi. Kami berdua seakan sedang berjalan di jalur yang sempit, di mana setiap langkah bisa saja membuat kami tergelincir.
Di tempat biasa, aku sudah menunggu saat Laras datang. Wajahnya masih tampak sedikit lelah, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang lebih tenang, meskipun tidak sepenuhnya bebas dari kekhawatiran.
"Hai," aku menyapa sambil tersenyum, berusaha membuatnya merasa lebih nyaman. "Apa kabar?"
Laras duduk di sebelahku. "Nggak tahu, Raka," katanya, menghela napas panjang. "Aku merasa... bingung. Aku merasa kayak udah benar-benar move on dari Dika, tapi tetap aja ada sesuatu yang nggak bisa aku buang. Ada perasaan yang nggak bisa hilang."
Aku menatapnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya dia rasakan. "Laras, nggak ada yang bisa memaksakan perasaan untuk pergi begitu saja. Mungkin prosesnya memang lebih lama dari yang kita kira. Tapi yang paling penting, kamu sudah mengambil keputusan yang benar. Kamu nggak perlu terburu-buru untuk merasa sepenuhnya bebas."
Laras menunduk, tampak berpikir sejenak. "Aku tahu. Tapi tetap aja, kadang aku merasa Dika masih punya pengaruh besar dalam hidupku. Itu yang bikin aku bingung. Aku mau banget ngejalani hidup ini, tapi rasanya kayak ada yang nahan."
Aku mengangguk pelan, mencoba mengerti apa yang dia maksud. "Aku ngerti. Tapi kamu nggak sendirian, Laras. Aku di sini, dan kita bisa hadapi ini sama-sama. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Semua ini butuh waktu."
Laras mengangguk perlahan, tapi wajahnya masih tampak penuh dengan pertanyaan. "Tapi apa aku bisa, Raka? Apa aku cukup kuat buat semua ini?"
Aku menggenggam tangannya, memandangnya dalam-dalam. "Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Laras. Ingat, setiap orang punya caranya sendiri untuk melepaskan masa lalu. Kamu nggak perlu terburu-buru. Yang penting kamu sudah memulai, dan itu sudah jauh lebih baik daripada terus terjebak di sana."
Kami terdiam sejenak, hanya mendengar suara riuh kota yang jauh di latar belakang. Laras tampak merenung, matanya menatap kosong ke depan. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang belum bisa dia lepaskan sepenuhnya, sesuatu yang masih mengikatnya. Tetapi aku tahu, itu bukan sesuatu yang bisa aku paksakan. Semua itu harus datang dari dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya terasa lebih berat. Laras mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya, mencoba untuk mengisi ruang kosong yang sebelumnya diisi oleh kenangan bersama Dika. Tapi setiap kali dia berusaha untuk tersenyum, aku bisa melihat ada sesuatu yang hilang di matanya. Aku tahu, meskipun dia berusaha untuk mengabaikan perasaan itu, rasa kehilangan dan kebingungannya masih ada.
Aku berusaha untuk tetap ada di sampingnya, memberikan ruang ketika dia membutuhkannya, tetapi juga siap ketika dia ingin berbicara. Kami berdua tahu, ini adalah ujian yang harus dilalui, dan kami harus melewatinya dengan cara kami sendiri.
Pada suatu sore, setelah bekerja seharian, Laras datang ke rumahku dengan wajah yang tampak lebih serius dari biasanya. Aku bisa melihat ada sesuatu yang mengganggunya, dan aku tahu, dia ingin membicarakan sesuatu yang penting.
"Kamu kelihatan serius," kataku sambil menawarkan kursi. "Ada apa?"
Laras duduk di kursi, menggigit bibirnya sejenak. "Aku merasa nggak bisa terus kayak gini, Raka," katanya pelan. "Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian. Aku harus memutuskan, harus tahu arah hidupku ke mana. Dan aku nggak tahu, kamu ada di sana untuk aku atau nggak."
Aku terkejut mendengar kalimatnya, tetapi aku bisa merasakan perasaan yang mendalam dalam suaranya. "Laras, kamu nggak perlu merasa seperti itu. Aku ada di sini, dan aku nggak akan pergi. Tapi aku juga nggak bisa memaksakan apapun pada kamu."
Laras menatapku, matanya penuh kebingungan. "Tapi apa yang harus aku lakukan, Raka? Aku nggak tahu bagaimana cara memulai lagi. Aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sebelum menjawab. "Laras, kamu nggak perlu memulai semuanya sekarang juga. Proses ini memang panjang, dan kamu nggak sendirian. Aku ada di sini, dan kita bisa menghadapi semuanya perlahan-lahan. Jangan terburu-buru, karena hidup itu bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tahan menjalani setiap langkah."
Laras terdiam, tapi kali ini ada sedikit cahaya di matanya. Seperti ada ketenangan yang mulai tumbuh, meskipun masih penuh dengan keraguan.
"Aku cuma butuh waktu, kan?" katanya perlahan.
"Iya," jawabku. "Semua butuh waktu, Laras. Dan aku akan sabar menunggu sampai kamu siap."
Beberapa minggu berlalu setelah percakapan itu. Laras mulai lebih sering berbicara tentang masa depan, meskipun masih dengan keraguan yang ada. Setiap hari, aku melihatnya semakin dekat dengan dirinya sendiri, meskipun proses itu tidak mudah. Tapi aku tahu, kami berdua sedang berjalan ke arah yang benar, walaupun langkahnya mungkin terasa lambat.
Kami masih berdua, saling memberi ruang untuk tumbuh, dan itu sudah cukup bagiku. Aku tahu, meskipun tidak ada jaminan, Laras mulai percaya bahwa kebahagiaan itu bukan sesuatu yang datang begitu saja. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita pilih, dan kami berdua sudah memilih untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...