Hari itu aku bangun dengan perasaan yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang belum bisa aku pahami sepenuhnya. Semua ini dimulai sejak hari pertama aku melihat Laras. Semakin aku mencoba untuk menjauh dari pikiranku tentangnya, semakin kuat perasaan itu. Seperti ada daya tarik yang tak bisa aku hindari. Satu hal yang aku tahu, dia berbeda dari yang lain.
Di sekolah, aku tidak terlalu banyak bicara dengan orang. Aku lebih memilih menghabiskan waktu sendirian, entah itu di taman belakang, di sudut ruang kelas, atau bahkan di koridor kosong. Mungkin aku terkesan aneh, tapi begitulah cara aku merasa nyaman. Namun, sejak pertemuan pertama dengan Laras, rasanya semua itu mulai berubah. Aku merasa sedikit gelisah saat berada di sekolah, seperti ada yang hilang jika aku tidak melihatnya.
Hari itu, seperti biasa, aku berjalan ke taman belakang untuk menikmati sedikit ketenangan. Namun, seperti yang sudah aku duga, Laras sudah ada di sana, duduk di bangku yang sama, membaca buku yang sama, dengan ekspresi yang sama—tenang, jauh, dan terasing dari dunia sekitar. Seolah-olah dia tidak membutuhkan siapa pun di sekitarnya. Bahkan dalam keramaian sekolah, dia selalu tampak terpisah dari semuanya.
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ingin berbicara dengannya lagi. Tidak ada alasan yang jelas, hanya saja rasa penasaran yang semakin tumbuh. Aku berjalan mendekat dengan langkah pelan, mencoba untuk tidak mengganggu ketenangannya. Saat aku duduk di bangku itu, dia tidak langsung menoleh. Aku tidak tahu apakah dia sadar aku datang, atau memang dia tidak peduli.
"Kenapa kamu selalu di sini?" tanyaku, suaraku agak ragu.
Laras menoleh sebentar, matanya tetap tajam, seolah sedang menilai apakah aku pantas untuk diberikan jawaban. Untuk beberapa detik yang terasa panjang, dia hanya menatapku. Kemudian, dia berkata pelan, "Di sini lebih tenang. Aku bisa berpikir."
Aku mengangguk pelan, mencoba memahami. Di sini memang lebih tenang, jauh dari kebisingan yang ada di sekolah. Tempat ini memang seperti oasis kecil di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah berhenti. "Aku juga suka di sini," kataku, mencoba membuka percakapan. "Kadang aku ke sini kalau pengen mikir."
Laras mengangkat alisnya sedikit, mungkin sedikit terkejut mendengar aku berbicara lebih banyak darinya. "Kamu suka sendirian?" tanyanya, suara itu terdengar lebih rendah, lebih dalam daripada sebelumnya.
Aku terdiam sejenak, merenung. "Ya, kadang," jawabku akhirnya. "Di sini... aku bisa lebih banyak berpikir tentang banyak hal."
Laras mengangguk, tetapi dia tidak berbicara lebih banyak. Kami kembali terdiam, menikmati ketenangan yang ada. Ada semacam kenyamanan dalam keheningan itu. Aku merasa seperti dia bukan tipe orang yang perlu banyak bicara untuk bisa merasa terhubung. Keheningan itu sendiri sudah cukup berbicara.
Beberapa menit berlalu, dan aku mulai merasa sedikit lebih nyaman. Kami tidak berbicara banyak, tetapi ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami. Suasana di taman semakin sepi, semakin sunyi. Aku mulai merasa bahwa pertemuan-pertemuan kami di tempat ini bukan kebetulan. Ada sebuah koneksi yang sulit dijelaskan, tetapi aku merasakannya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mengganggu keheningan itu. Aku menoleh dan melihat beberapa orang datang ke taman. Mereka tertawa, berbicara dengan keras, dan suasana tiba-tiba berubah menjadi lebih bising. Laras, yang sejak tadi duduk tenang, menatap mereka sejenak. Tanpa berkata apa-apa, dia bangkit dari bangkunya, melangkah pergi dengan cepat. Seolah-olah dia tidak ingin terjebak dalam keramaian itu.
Aku menatapnya, tetapi dia tidak melihat ke arahku. Dia berjalan pergi begitu saja, seperti dunia di sekitarnya tidak ada artinya. Aku tetap duduk di bangku itu, merasakan adanya kekosongan setelah dia pergi. Ada semacam kesepian yang datang begitu cepat setelah dia tidak ada di sana.
Hari itu berlalu begitu saja, dan meskipun aku tidak melihat Laras lagi, perasaan itu tetap ada—perasaan bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh. Ada sesuatu dalam diri Laras yang sangat sulit untuk dimengerti, dan itu membuatku semakin tertarik padanya. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, atau apa yang dia rasakan. Yang aku tahu adalah, dia bukan orang yang mudah dijangkau. Dan itulah yang membuatku merasa bahwa aku ingin tahu lebih banyak.
Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang agak gelisah. Sejak hari pertama pertemuan kami di taman, aku merasa seperti ada yang berubah. Aku sering berpikir tentang Laras, tentang sikapnya yang dingin dan terjaga, tetapi juga tentang keheningan yang dia bawa ke setiap ruang yang dia masuki. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa ada semacam daya tarik yang tak bisa dijelaskan.
Di sekolah, aku berusaha untuk tetap seperti biasa. Aku mencoba tidak terlalu memikirkan tentang Laras, tetapi sepertinya semakin aku berusaha melupakan, semakin sering pikiranku teringat padanya. Hari itu aku duduk di kelas, merasa sedikit terasing dari yang lain, seperti biasa. Aku lebih memilih untuk duduk sendiri, fokus pada tugas-tugas yang ada, meskipun pikiranku tidak bisa berhenti melayang kepada Laras. Setiap kali aku berusaha berkonsentrasi, aku selalu teringat padanya.
Pelajaran pun berlalu dengan cepat. Ketika bel istirahat berbunyi, aku memutuskan untuk pergi ke taman belakang lagi. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa seperti ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberiku sedikit kedamaian di tengah keramaian sekolah. Ternyata, saat aku sampai di sana, aku melihat Laras sudah ada di sana. Dia duduk di bangku yang sama, dengan buku yang sama di tangannya.
Aku mendekatinya perlahan, tapi kali ini, aku merasa sedikit lebih percaya diri. Aku duduk di bangku yang ada di sebelahnya, tanpa berkata apa-apa pada awalnya. Kami berdua kembali duduk dalam keheningan yang nyaman itu. Tidak ada kata-kata, tidak ada pertanyaan. Kami hanya ada di sana, menikmati ketenangan yang ada di sekitar kami.
Setelah beberapa lama, aku membuka mulut. "Kenapa kamu selalu sendiri?" tanyaku, suaraku agak lebih berani dari sebelumnya. "Kenapa nggak ikut gabung sama yang lain?"
Laras menoleh padaku, menatap dengan mata yang penuh pertanyaan. "Aku nggak butuh orang lain," jawabnya pelan. "Kadang, lebih baik sendiri."
Aku terdiam sejenak. Ada sesuatu yang terasa sangat jujur dalam kata-katanya. Aku bisa merasakan bahwa dia benar-benar merasa seperti itu—bahwa berada di sekitar orang lain hanya akan mengganggu kedamaian yang dia cari. Aku mengerti, karena aku pun sering merasa seperti itu. Ada kalanya dunia luar terasa terlalu berat, dan satu-satunya tempat yang bisa kita temukan kedamaian adalah di dalam diri kita sendiri.
Kami duduk dalam keheningan itu lagi, seakan tidak ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Namun, kali ini, aku merasa bahwa kami berbagi lebih banyak daripada sekadar keheningan. Ada sebuah pemahaman yang tak terucapkan di antara kami. Kami mungkin tidak banyak berbicara, tetapi kami tahu bahwa kami saling mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...