Bab 9: Di Persimpangan Jalan

1 0 0
                                    


Hari-hari berjalan begitu cepat, seolah dunia berputar tanpa peduli apa yang aku rasakan. Setiap kali aku berusaha mendekati Laras, aku merasa semakin terjauh darinya. Mungkin itu karena aku tidak bisa benar-benar memahami apa yang dia hadapi, atau mungkin memang ada sisi dari dirinya yang terlalu kelam untuk bisa dijangkau.

Hari ini, aku kembali merasakan kecemasan yang sama seperti sebelumnya. Rasanya seperti ada hal yang sedang mendekat, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Sesuatu yang aku tak tahu bagaimana cara menghadapinya. Tapi, satu hal yang aku tahu pasti—Laras sedang berada di persimpangan jalan. Antara memilih untuk meninggalkan masa lalunya, atau terjebak di dalamnya selamanya.

Setelah beberapa hari tidak berbicara banyak, pagi itu Laras mengirimkan pesan singkat. Hanya dua kata: "Ketemu nanti." Tidak ada penjelasan, hanya ajakan yang tiba-tiba. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi, meskipun aku tahu, pertemuan itu mungkin akan lebih berat dari yang bisa kubayangkan.

Saat aku tiba di taman belakang sekolah, Laras sudah ada di sana. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dia tampak lebih serius, lebih tegar. Matanya tidak seperti biasanya—kosong, tetapi penuh dengan keteguhan yang menyakitkan. Sesuatu telah berubah dalam dirinya, dan aku bisa merasakannya.

"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku pelan, berusaha membuka percakapan.

Laras mengangguk perlahan, tanpa menatapku langsung. "Aku harus pergi ke rumah Dika," katanya, suaranya lebih tegas daripada yang aku harapkan. "Aku nggak bisa terus lari dari kenyataan ini, Raka. Aku harus selesai dengan ini."

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dika... Nama itu selalu datang dengan rasa takut, dengan bayang-bayang masa lalu yang gelap. Aku bisa merasakan bahwa pertemuan itu tidak akan mudah, tetapi aku juga tahu Laras tidak bisa menghindar selamanya.

"Kamu nggak perlu melakukannya sendirian," kataku, berusaha memberikan sedikit kekuatan. "Aku akan ikut denganmu."

Laras menoleh, memandangku dengan tatapan yang sulit dibaca. "Raka..." katanya dengan suara yang hampir putus asa. "Aku nggak mau kamu terlibat lebih jauh. Ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku dan masa lalu aku. Kamu nggak harus ikut dalam kekacauan ini."

Aku menggenggam tangannya dengan lembut, meyakinkannya. "Aku nggak akan membiarkan kamu pergi sendiri. Kita akan hadapi ini bersama. Kamu nggak harus menanggung beban ini sendirian."

Laras menarik napas panjang, tampak ragu, tapi akhirnya dia mengangguk. "Kalau begitu, ayo."

Kami berdua berjalan menuju rumah Dika dengan perasaan yang bercampur aduk. Setiap langkah terasa semakin berat, dan aku bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, dan aku tidak tahu apa yang akan kami hadapi di depan. Tetapi yang jelas, Laras membutuhkan aku, dan aku tidak akan membiarkannya menghadapi semua ini sendirian.

Sesampainya di depan rumah Dika, aku bisa merasakan aura yang sangat berbeda dari tempat itu. Rumah itu tampak seperti rumah biasa, tapi aku tahu di baliknya ada banyak cerita gelap yang tidak pernah diceritakan orang-orang di luar sana. Aku bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara, dan Laras tampak semakin cemas.

Laras berhenti sejenak di depan pintu rumah Dika, menghela napas panjang. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri.

Aku menatapnya, memberikan dukungan tanpa perlu kata-kata lebih. "Kamu tidak perlu memulai dari apa pun. Yang penting, kamu melakukan ini untuk dirimu sendiri."

Laras mengangguk pelan, lalu dengan perlahan mengetuk pintu. Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, diikuti dengan pintu yang terbuka. Dika berdiri di depan kami, dengan tatapan yang sulit dibaca. Wajahnya tidak tampak terkejut, meskipun kami tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah.

"Laras," Dika berkata dengan nada datar, "Kenapa kamu datang kemari?"

Laras tidak langsung menjawab. Dia menatap Dika dengan tatapan yang penuh konflik, seperti ada banyak perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Aku datang untuk menyelesaikan semuanya," jawabnya akhirnya, suaranya agak terputus-putus. "Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, Dika. Aku nggak mau lagi terjebak di dalam dunia yang nggak seharusnya aku jalani."

Dika mengangkat alis, sedikit tertawa kecil dengan nada yang terdengar sinis. "Kamu pikir kamu bisa keluar begitu saja? Kamu pikir dengan pergi dari sini, semuanya akan selesai?" katanya dengan nada mengejek.

Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Dika bukan orang yang mudah dihadapi, dan cara bicara serta sikapnya jelas menunjukkan bahwa dia tidak siap untuk melepaskan Laras begitu saja.

"Aku nggak butuh saran dari kamu, Dika," Laras menjawab dengan lebih tegas, meskipun aku bisa mendengar gemetar di suaranya. "Aku datang ke sini untuk membereskan semuanya. Aku nggak mau terus hidup seperti ini."

Dika mendekat, wajahnya semakin serius, namun ada sedikit kekuatan yang tersirat di balik ekspresinya. "Kamu nggak akan bisa keluar begitu saja, Laras. Kamu tahu itu kan?" katanya dengan suara rendah, penuh ancaman. "Aku tidak akan membiarkan kamu meninggalkan aku begitu saja. Kamu bagian dari dunia ini. Tidak ada jalan keluar."

Aku merasa darahku mendidih mendengar kata-kata Dika. Ada sesuatu yang sangat mengerikan dalam cara dia berbicara, sesuatu yang memperlihatkan betapa besar pengaruhnya terhadap Laras selama ini. Aku bisa melihat Laras tampak ragu, tetapi aku tahu dia juga sudah memutuskan untuk keluar dari dunia itu.

"Kamu bisa mencoba menahanku, Dika," Laras berkata, "Tapi aku nggak akan tinggal di sini lagi. Aku sudah cukup. Cukup dengan semuanya."

Keheningan mengisi udara sesaat. Dika tampak bingung, tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya, dia hanya mendengus pelan, lalu mengangkat bahu. "Baiklah. Kalau itu yang kamu mau. Tapi jangan berpikir hidupmu akan mudah setelah ini."

Aku bisa merasakan ketegangan mereda sedikit, meskipun aku tahu ini baru awal dari konflik yang lebih besar. Laras terlihat lelah, tetapi ada sedikit kebebasan di matanya—sebuah tanda bahwa dia akhirnya membuat keputusan yang benar.

Kami berdua meninggalkan rumah Dika, dan sepanjang perjalanan kembali, aku bisa merasakan bahwa Laras sedikit lebih ringan. Meskipun ada banyak yang harus dia hadapi, dia tahu bahwa dia telah membuat langkah besar untuk membebaskan dirinya. Dan aku akan tetap berada di sisinya—sebagaimana janji yang telah kuterima.

FRAGMENTS OF USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang