Pagi itu, aku merasa cemas. Sebelumnya, aku mungkin tidak menyadari betapa besar perubahan yang terjadi antara aku dan Laras. Namun, semakin hari, aku merasa semakin jauh dari dirinya, meskipun kami tetap sering bertemu. Setiap kali aku berusaha mendekatinya, ada sesuatu yang menghalangi. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, dan aku mulai merasa bahwa aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.
Aku berjalan ke sekolah dengan perasaan tidak menentu, teringat pertemuan kami kemarin di taman. Saat itu, Laras sempat membuka sedikit tentang dirinya—tentang masa lalu yang kelam, tentang Dika, dan tentang keluarganya yang tak pernah mengerti dirinya. Aku tidak tahu harus merasa lega atau malah khawatir. Setiap kali aku berpikir tentang Laras, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalaku. Apa yang harus aku lakukan untuk membantu dia? Apakah aku bisa menjadi seseorang yang bisa dia percayai sepenuhnya?
Ketika aku tiba di sekolah, aku melihat Laras sedang berdiri di dekat gerbang, tampak sedang berbicara dengan beberapa teman sekelas. Aku ingin mendekatinya, tetapi aku ragu. Terakhir kali kami berbicara, ada banyak hal yang belum selesai. Aku merasa seperti ada jurang yang memisahkan kami, meskipun kami hanya berjarak beberapa meter. Tapi aku tahu, jika aku tidak mencoba, aku tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Aku berjalan mendekat, dan Laras melihatku sebentar sebelum berbalik lagi. Ada kecemasan di matanya, dan aku bisa merasakannya. Saat aku akhirnya sampai di dekatnya, dia hanya tersenyum tipis—senyum yang tidak sepenuhnya menyentuh matanya.
"Hai," katanya, suaranya terdengar agak kaku. "Ada apa?"
Aku menatapnya dengan tatapan serius. "Aku mau bicara. Tentang... kemarin."
Laras mengangguk pelan, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Kami berdua berjalan ke taman belakang, tempat kami sering menghabiskan waktu. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa di tempat itu, kami bisa lebih terbuka, lebih jujur satu sama lain.
Kami duduk di bangku yang sama seperti biasa. Aku menunggu, berharap kali ini Laras akan membuka diri lebih banyak lagi. Tapi, seperti biasanya, dia hanya diam, tidak berbicara.
"Lar," kataku setelah beberapa saat, "Kamu nggak perlu merasa sendirian. Aku nggak tahu apa yang kamu rasakan, tapi aku ingin membantu."
Laras menoleh kepadaku, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku melihat ketulusan di matanya. "Aku tahu kamu ingin membantu, Raka," katanya dengan suara lembut, "Tapi aku nggak tahu apakah kamu bisa mengerti."
Aku terdiam sejenak. "Aku nggak tahu, Lar, tapi aku ingin mencoba. Aku nggak akan mundur."
Laras menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku takut kalau aku ceritakan semuanya, kamu akan pergi. Aku takut kalau kamu tahu semuanya tentang aku, kamu akan benci aku."
Aku merasa hatiku teriris mendengar kata-katanya. "Laras, kamu nggak bisa berpikir begitu," jawabku dengan pelan. "Aku nggak akan pergi kemana-mana. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ada."
Dia menatapku dengan tatapan yang penuh keraguan, seolah mempertimbangkan kata-kataku. Setelah beberapa saat, dia akhirnya membuka mulut, suara yang keluar kali ini terdengar sangat lemah. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa keluar dari semua ini, Raka. Aku terjebak, dan aku nggak bisa membebaskan diri."
"Apa yang kamu maksud?" tanyaku, sedikit bingung.
Laras terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Dika," katanya akhirnya, "Dia... dia selalu ada di sekitar aku. Setiap kali aku berusaha untuk melangkah maju, dia selalu ada di belakang, mengingatkan aku tentang masa lalu, tentang kesalahan yang aku buat."
Aku menggenggam tangannya dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kekuatan. "Kamu nggak harus menjalani ini sendirian, Lar. Kamu nggak harus membiarkan dia mengendalikan hidupmu."
Laras menunduk, seolah bergumul dengan pikirannya sendiri. "Aku nggak tahu bagaimana cara keluar, Raka. Dia selalu tahu cara menarikku kembali ke dunia itu. Dunia yang nggak ingin aku hadapi lagi."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tahu bahwa Dika adalah bagian dari masa lalu Laras yang sangat berat, dan aku tidak tahu betapa dalamnya pengaruhnya terhadap hidup Laras. Aku ingin sekali bisa membantu, tapi aku juga tahu ada batasan pada apa yang bisa kulakukan.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanyaku setelah beberapa saat.
Laras menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sedikit keteguhan di matanya. "Aku harus menghadapi dia, Raka. Aku nggak bisa terus melarikan diri. Aku harus menghadapinya, walaupun itu sulit. Aku harus melepaskan masa lalu yang mengikatku."
Aku merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. Setidaknya, dia mulai mencari jalan keluar. Tetapi aku juga tahu, itu tidak akan mudah. Dika bukan orang yang mudah dihindari, dan dunia yang dia bawa bersama gengnya bukanlah dunia yang bisa begitu saja ditinggalkan.
"Aku akan membantumu, Lar," kataku dengan sungguh-sungguh. "Kamu nggak harus melawan ini sendirian."
Laras tersenyum tipis, kali ini senyuman yang lebih tulus daripada sebelumnya. "Terima kasih, Raka," katanya pelan. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi setidaknya sekarang aku merasa ada seseorang yang peduli."
Kami berdua terdiam, saling memahami dalam keheningan yang ada di antara kami. Meskipun perjalanan yang harus kami hadapi masih panjang dan penuh rintangan, aku merasa bahwa kami mulai saling menguatkan. Mungkin, hanya dengan bersama-sama, kami bisa menghadapi bayang-bayang masa lalu yang terus mengejar.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS OF US
Teen FictionLaras selalu membawa beban masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. Setelah patah hati yang membuatnya meragukan harga dirinya, ia berjuang untuk menemukan kedamaian di dunia yang terus dihantui oleh kenangan cinta yang telah pergi. Namun, ada Raka, tem...