XIX. SENTUHAN YANG MEMIKAT

5 0 0
                                    

"Besok pagi, siapkan semua dokumenmu untuk pengajuan visa," kata Leon, tiba-tiba mengubah nada suaranya menjadi formal, seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi. "Kita akan ke Paris."

Karin, yang masih berdiri di tempat dengan napas belum sepenuhnya teratur, mengerutkan kening. Paris? Kalimat itu langsung membuyarkan pikirannya.

"Paris?" ulangnya, mencoba memastikan dia tidak salah dengar. "Kenapa kita harus ke sana?"

Leon menatapnya sekilas, ekspresinya tetap dingin seperti biasanya. "Ada urusan yang harus saya selesaikan di sana," jawabnya datar, seolah itu cukup untuk menjawab pertanyaannya.

Namun, bagi Karin, itu jelas tidak cukup. Ia menyilangkan tangan di depan dadanya, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak akan menerima penjelasan setengah hati.

"Urusan apa? Apa ini tentang pekerjaan kamu? Atau ada alasan lain?"

Leon mengangkat alis, sedikit terkejut dengan nada pemberontakan Karin. "Karin, kamu tidak perlu tahu semua alasannya."

Karin mendengus, tidak terima dengan jawaban itu. "Tentu saja aku perlu tahu. Aku yang akan pergi ke sana bersama kamu, kan? Aku berhak tahu kenapa tiba-tiba kita harus ke Paris."

Diam sejenak. Leon menatapnya dengan pandangan tajam, tapi Karin tidak mundur. Ia tetap berdiri tegak, menatap balik Leon dengan dagu sedikit terangkat.

Di dalam hatinya, Karin sadar Paris adalah kota impiannya sejak dulu, kota yang selalu ia kagumi dari cerita dan foto. Tapi... ini Leon.

Dia tidak ingin berpikir Leon tiba-tiba memutuskan mengajaknya hanya untuk menyenangkannya. Itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

"Paris..." batinnya, bergulat dengan pikirannya sendiri. "Apa dia mau menyenangkanku? Tidak, jangan terlalu berharap, Karin. Ini Leon. Semuanya pasti ada hubungannya dengan urusannya sendiri, dengan hidupnya yang penuh intrik. Aku hanya bagian kecil dari itu semua."

Leon berjalan mendekatinya, perlahan, tapi tidak dengan intensitas seperti sebelumnya. Kali ini, tatapannya penuh kendali.

"Kamu hanya perlu menyiapkan dokumenmu. Sisanya bukan urusanmu," katanya pelan, tapi nadanya mengandung perintah yang jelas.

Karin mendesah panjang, frustrasi dengan sikap dingin dan penuh rahasia itu.

"Aku berhak tahu alasannya." Ia melangkah mundur, mencoba menciptakan jarak di antara mereka.

Leon menatapnya sejenak, matanya menyipit sedikit. Karin bisa melihat sesuatu yang bergolak di dalam dirinya, tetapi Leon terlalu pandai menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan.

"Hak?" katanya akhirnya, suaranya rendah. Ia melangkah lebih dekat lagi, kali ini jaraknya benar-benar hanya beberapa inci dari Karin.

Karin mencoba tetap tegar, tapi tubuhnya bereaksi lain. Aura Leon yang mendominasi selalu menjadi kelemahannya, dan ia benci mengakui itu.

Ia mencoba menahan napas ketika Leon meraih dagunya, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu.

"Kamu boleh melawan," bisiknya dengan nada rendah yang mematikan. "Tapi kamu tahu, pada akhirnya, kamu akan tetap mengikuti apa yang saya katakan."

Karin mengerang pelan, berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "Leon, lepaskan. Jangan pikir aku akan selalu-"

Kalimatnya terpotong saat Leon menunduk sedikit, hanya beberapa inci dari wajahnya.

"Karin," suaranya pelan namun penuh peringatan. "Kamu bisa bertanya seribu alasan. Tapi ingat satu hal. Aku yang memutuskan semuanya. Kamu hanya perlu ikuti saja."

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang