21.Kejanggalan

197 34 1
                                    

Axel berdiri di depan cermin lemari kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Axel berdiri di depan cermin lemari kamarnya. Ditatapnya lekat bayangan yang memproyeksikan dirinya. Bibirnya digerakkan ke kedua sisi, mencoba untuk tersenyum. Namun, hampa. Alasan untuk tersenyum tak ada lagi. Hari-harinya kembali seperti pada saat sebelum Karina datang di kehidupannya. Murung.

Tiba-tiba terbersit sesuatu dalam benaknya. Mengambil tas punggung di dalam lemari, diisi dengan beberapa helai pakaian. Tak lupa menyelipkan cokelat, biskuit, dan permen. Bocah dengan rambut jamur itu menghela napas dalam. Meskipun terkadang cengeng, di saat terdesak, keberaniannya muncul ke permukaan.

Bocah lelaki itu mengendap-endap, menyamarkan badan mungilnya di antara tanaman berdaun lebat di sekitar taman, agar tidak terlihat oleh Bima di pos penjagaan.

Ternyata, Bima belum sempat menutup pintu setelah mobil yang dikemudikan Ajat masuk beberapa menit lalu. Ketika kedua pria itu lengah, di saat itu Axel diam-diam keluar rumah.

Bocah itu mengusap dadanya, lega bisa lolos tanpa ketahuan.

Kak Karina, aku pasti bisa menemukanmu. Jangan pergi dulu dari rumah itu. Kita akan berkumpul lagi seperti biasa.

Senyumnya merekah. Keyakinannya tumbuh semakin besar. Bocah itu memiliki daya ingat yang cukup kuat, meski sehari-hari diantar-jemput mobil, tapi ia hapal ke mana ia harus berjalan untuk sampai tujuan.

Kalau dengan mobil, rumah Karina bisa ditempuh sekitar 10 menit. Namun, tentu akan terasa perbedaanya ketika ditempuh dengan berjalan kaki, terlebih untuk anak kecil dengan langkahnya yang pendek, akan memakan waktu lebih lama.

Sinar mentari berangsur meredup. Axel berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kakinya yang terasa pegal. Ia urut-urut sendiri buah betisnya. Menyeka peluh di kening dengan punggung tangan.

"Jalan Me-la-ti." Kepalanya miring ke kiri, mengeja nama jalan di sebuah perempatan. "Ga salah lagi, ini memang nama jalan rumah Kak Karina." Bocah itu kembali berdiri dengan senyum lebar. Baterai semangatnya kembali terisi penuh.

****

Sementara Jeno baru saja pulang. Lelaki bertubuh tegap itu membuka kamar sang putra, mendapati kamarnya kosong.

"Axel!" panggilnya seraya masuk lebih dalam, menuju kamar mandi. Namun, sang anak tidak ada di sana.

Jeno tertegun, dahinya mengernyit, selembar kertas tergeletak di atas tempat tidur mengalihkan perhatiannya. Di kertas itu tertulis tulisan yang masih belum rapi, namun masih bisa dibaca.

Papa, jangan marah ya, Axel pergi mencari Kak Karina ke rumahnya. Maafin Axel pergi tanpa ngasih tau Papa. Karena kalau Axel ngomong duluan, pasti Papa ga ngasih izin.

"Astaga, Axel!" Jeno meremas kertas pesan dari anaknya itu sampai menjadi gumpalan. Jeno menyesalkan tindakan nekat sang anak. Hampir tiap hari ia lewat di depan rumah Karina, berharap dia ada di rumah itu, akan tetapi Karina tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Jeno sudah frustrasi, tak tahu lagi harus mencarinya ke mana, Karina sangat tertutup soal kehidupan pribadinya.

Angel Beside MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang