Jeno Albert Simamora seorang pesepakbola muda berbakat, terpaksa menikahi Jessica, sepupu jauhnya yang usianya jauh lebih tua karena dijodohkan orangtua mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pernikahannya dengan Jessica tidak berjalan bahagia. S...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Karina duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kimono handuk dengan rambut setengah basah. Membuka laci di samping tempat tidur, mengambil sebuah hairdryer. Rambut panjangnya dikibaskan ke samping, tak lama terdengar suara halus yang tidak terlalu bising dari alat pengering rambut tersebut.
Sementara itu, Jeno masih meringkuk di tempat tidur, matanya terbuka sedikit demi sedikit, cahaya mentari pagi yang masuk dari tirai menembus kornea matanya membuat silau. Paginya disambut pemandangan indah, matanya serasa diberkati. Karina sedang mengibas-ngibaskan rambutnya, tampak begitu sexy. Meskipun sudah sangat ingin menerkamnya, Jeno memilih untuk menahan diri.
Ketika Karina selesai mengeringkan rambut, ia kembali berbalik. Jeno pura-pura memejamkan mata.
Terukir seulas senyum lembut di bibir merah mudanya, kala mengingat apa yang sudah mereka perbuat semalam. Sejenak menghela napas dalam, ada rasa bersalah. Terlepas, bagaimana kondisi rumah tangga Jeno saat ini, statusnya masih suami Jessica. Apa pun alasannya, yang telah mereka lakukan sejauh ini tetaplah perselingkuhan.
Apakah Karina mendambakan ikatan pernikahan? Rasa rendah diri selalu muncul, kala mengingat caci-maki orangtua Jeno. Jurang perbedaan di antara mereka terlalu curam.
Saat sedang tenggelam dalam lamunan, tanpa pertahanan, sebuah tarikan membawa Karina mendarat tepat di dada bidang lelaki yang dikiranya masih terlelap. Karina hanya membeku ketika dihadapkan dengan wajah lelaki itu. Wanita mana yang tidak akan terpana dengan ketampanan Jeno, tak terkecuali Karina. Tatapan mata keduanya terjalin selama beberapa saat.
Jeno merebahkan Karina pada bantalnya, gilirannya yang di atas. Dari tatapan liarnya, Karina sudah tahu apa yang diinginkan Jeno. Sungguh, Karina belum siap. Yang semalam saja masih menyisakan perih. Karina memutar otak, sebisa mungkin mencoba meredam hasrat lelaki itu.
"Aku mau ketemu Axel," lirihnya dengan suara sedikit gemetar, ciuman lembut Jeno di leher jenjangnya membuatnya tak karuan.
Wangi segar sabun tercium dari kulit mulusnya. Jeno semakin dalam membenamkan ciumannya di ceruk leher Karina. Di pagi hari, terlebih dihadapan dengan wanita secantik dan seseksi Karina, libidonya semakin terdongkrak naik. "Nanti saja."
"Memangnya, sekarang Axel di mana?"
"Axel aku titipkan sama Mami."
Karina menguatkan hati untuk tidak tergiring pada pusaran gairah yang sedang dibangun Jeno.
"Bukannya kamu juga tahu, Axel kalau hari Minggu bangunnya agak siangan. Sekarang masih terlalu pagi. Masih ada waktu." Tangan lebar Jeno meraba kaki jenjang Karina dari lutut sampai pangkal pahanya.
"Kamu selalu membuatku gila, Karina. Aku gak akan melepasmu sebelum mendapatkan yang kumau."
Jeno menarik tali kimono handuk Karina yang diikat tidak begitu kencang, sehingga, sekali tarikan saja simpulnya terlepas.