Jeno Albert Simamora seorang pesepakbola muda berbakat, terpaksa menikahi Jessica, sepupu jauhnya yang usianya jauh lebih tua karena dijodohkan orangtua mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pernikahannya dengan Jessica tidak berjalan bahagia. S...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Motor sport pabrikan Italia, didominasi warna merah menyala mengaspal dengan gagahnya. Deru mesin berkapasitas besar, garang meraung, seolah berlomba dengan degup jantung yang berpacu karena lonjakan adrenalin, akibat rasa cemas yang berlebih. Bagaimana tidak cemas, wanita yang ia cintai nasibnya belum diketahui.
Mata setajam elang di balik helm full face, fokus pada jalan yang dilalui. Bak seorang pangeran yang menunggangi kuda perangnya, dalam misi menyelamatkan permaisurinya yang tersandera musuh.
Detik demi detik begitu berharga.
Lima belas menit perjalanan, Jeno berhasil menemukan alamat itu. Ternyata, rumah itu dijaga ketat, tidak sembarang orang bisa masuk. Ada pos pengamanan dengan dua orang satpam yang berjaga.
Jeno membuka helm-nya, bersikap setenang mungkin. Menghampiri dua orang berseragam hitam yang tampak sedang mencurigai gerak-geriknya.
"Mas sedang apa di sini cuma lihat-lihat?" tegur seorang satpam berambut cepak bernama Burhan, tampak jelas dari bordiran huruf di seragamnya.
Jeno tak tahu harus beralasan apa. Namun, tiba-tiba terlintas nama yang pernah diceritakan Karina---sang mucikari yang mengelola bisnis esek-esek itu. "Apakah di sini rumah Mamih Silvana?"
Nama itu seperti sebuah kata sandi yang membuat mimik muka kedua satpam yang tadinya merengut menjadi lebih ramah.
"Bilang dari tadi, dong, Mas, kalau mau ketemu Mamih."
"Tapi, kayaknya baru lihat?" Alis Hendra mengernyit mengamati tampang Jeno yang kurang familiar, dibanding tamu-tamu Mamih Silvana yang sudah jadi member tetap.
"Awalnya direkomendasikan teman, akhirnya penasaran," ucap Jeno setengah berbisik. Berlagak 'mesum' supaya lebih meyakinkan sebagai bagian dari golongan mereka.
"Kebetulan, Mas, lagi banyak barang baru, bening-bening. Mana masih pada ABG."
"Bener, Mas. Top Markotop pokoknya," dukung Hendra dengan mengacungkan jempol.
"Oke. Bagaimana caranya saya bisa ketemu Mamih Silvana?"
"Mas tinggal masuk aja, nanti ada asistennya, Mbak Mawar, yang nganterin Mas ketemu Mamih."
"Atau, mau saya antar?" tawar Burhan.
"Ga usah, biar saya sendiri saja."
****
Jeno mengamati keadaan sekitar rumah mewah itu. Rumah yang bahkan lebih luas dari rumahnya. Bukannya langsung menuju pintu utama, Jeno terus berjalan lebih jauh ke arah belakang. Dari jarak beberapa meter, Jeno memelankan langkah, netranya menangkap sosok yang tak asing. Begitu pun yang ditatapnya merasakan hal yang sama, kaget dengan kemunculan Jeno yang tidak disangka-sangka.
Jeno tampak begitu geram, rahangnya mengeras. Menghampiri lelaki berengsek itu, langsung mencengkeram kerah pakaiannya.