Jeno Albert Simamora seorang pesepakbola muda berbakat, terpaksa menikahi Jessica, sepupu jauhnya yang usianya jauh lebih tua karena dijodohkan orangtua mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pernikahannya dengan Jessica tidak berjalan bahagia. S...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ga pernah sama sekali gue lihat perut buncit Jessica waktu mengandung Axel. Dia hanya nunjukin hasil USG tiga kali. Perut besarnya waktu itu pasti hanya dibuat-buat.Waktu Axel lahir, saat itu gue lagi ada pertandingan AFC Cup di Thailand. Pasti Jessica sengaja mengatur waktu kelahirannya agar gue ga menyaksikan anak gue lahir ke dunia ini.
Jeno kembali memejamkan mata, berpikir lebih keras. Memang bukan hal mudah mengingat peristiwa sembilan tahun silam, terlebih dalam kondisi terpengaruh alkohol. Namun, tiba-tiba ada sekelebat ingatan tentang sosok wanita yang bercinta dengannya malam itu, dia memiliki rambut hitam panjang, sedangkan Jessica saat itu berambut cokelat sebahu.
Karina....
Nama itu digumamkan Jeno begitu saja. Meskipun wajahnya tidak begitu jelas, namun getarannya terasa sama dengan seseorang yang kini menghuni hatinya.
Apa mungkin Karina punya firasat yang sama denganku? Karena itu dia menyimpan kuku Axel. Apalagi Karina pernah bertanya tentang tanggal lahir Axel.
Senyum di bibir Jeno terukir indah, bahkan matanya tampak berkaca-kaca.
Kalau ini benar, berarti keterikatan Axel dengan Karina selama ini bukanlah kebetulan semata. Melainkan, ikatan batin yang kuat antara ibu dan anak.
Lamunannya dibuyarkan oleh dering ponsel di saku jaketnya. Di layar ponselnya tertera panggilan telepon dari Maria.
"Halo, Mi."
"Jen, cepat ke mari, Axel sudah sadar."
Jeno menghembuskan napas lega. "Terima kasih, Tuhan." Doa yang berhari-hari ia panjatkan dengan sungguh-sungguh, akhirnya terkabul.
Jeno menghampiri sang putra yang masih terbaring lemah.
"Papa...."
"Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar." Jeno mencium pipi Axel. Bahagia tak terhingga, bersyukur yang tak terukur, mendengar sang anak memanggilnya kembali. Tersenyum dalam tangis, papa muda itu mengecupi punggung tangan sang anak penuh haru. "Apa masih ada yang sakit, Sayang?"
Axel menggeleng. "Ga ada, Pa. Axel kan anak cowok, kata Papa ga boleh cengeng. Papa juga ga boleh nangis." Tangan mungil yang masih lemah itu terulur mengusap air mata di pipi Jeno.
"Papa nangis karena bahagia kamu udah sadar."
"Papa ga marah, kan, Axel udah nakal pergi dari rumah?" bibir Axel mengerucut, matanya berkaca-kaca, takut dimarahi.
Jeno menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. "Papa ga marah. Hanya, lain kali kamu ga boleh mengambil keputusan sendiri untuk hal-hal yang membahayakan. Kamu harus minta izin sama Papa."
"Iya, Pa. Axel minta maaf, ga bakal diulang lagi. Axel cuma mau nyari Kak Karina. Terus, pas Axel udah di dekat rumahnya, Axel liat penjahat itu di depan rumah Kak Karina."