Volume 2: Chapter 4

3 3 1
                                    

Chapter 4: The Escapism.

---

Arata membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan rasa dingin menusuk dari lantai logam di bawah tubuhnya, membuatnya menggigil. Kepalanya masih terasa berat, seperti ada kabut yang menutupi pikirannya. Saat kesadarannya perlahan pulih, ia mendengar suara napas pelan dari dekat. Ia menoleh dan melihat Casstar terbaring tidak sadarkan diri, wajahnya pucat.

Ruangan itu terasa aneh––sebuah sel berbentuk segi delapan dengan dinding transparan yang berkilau seperti prisma. Cahaya lembut yang memantul darinya tampak berdenyut, memberikan kesan suasana yang tidak stabil, seolah ruangan itu memiliki nyawa. Tidak ada pintu maupun jendela, hanya kehampaan yang membuat dada Arata semakin sesak.

Arata menjulurkan tangannya ke salah satu dinding, mencoba memastikan ini bukan ilusi. Begitu jemarinya menyentuh permukaan itu, aliran energi listrik menyambar seperti ular kecil, membuatnya terlonjak. Arata langsung menarik lengannya, menahan rasa sakit yang menyengat di ujung jarinya.

"Kasuta..." gumamnya pelan, mengguncang bahu temannya dengan lembut. "Bangun."

Casstar perlahan membuka matanya. Wajahnya menunjukkan kebingungan dan kelelahan. "Apa... yang terjadi? Di mana kita?" tanyanya dengan suara serak, sambil berusaha bangkit.

"Aku nggak tau," jawab Arata singkat. Nada suaranya tegang, matanya tak lepas dari dinding-dinding prisma. "Tapi tempat ini... terasa asing. Kayaknya kita udah nggak di Bumi lagi."

Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, suara berat yang familiar menggema dari luar. "Kalian akhirnya bangun. Aku pikir kalian nggak akan pernah sadar."

Arata menoleh tajam ke arah sumber suara. Raka berdiri di luar sel, tubuhnya dibalut seragam hitam dengan logo Spectral Order di dada. Ekspresinya dingin, seperti topeng yang tak menunjukkan emosi. Namun, di balik matanya yang tajam, ada sesuatu yang samar––kelelahan, atau mungkin keraguan.

"Kalian ada di salah satu markas Spectral Order," katanya dengan nada datar. "Ini bukan markas utama kami, tapi cabang terdekat dari universe kita. Dan tempat ini adalah di mana para anomali akan diadili."

Casstar mencoba bangkit meskipun tubuhnya masih lemas. "Apa-apaan ini?! Kau nggak bisa menahan kami di sini tanpa alasan!" serunya. Suaranya bergetar, meski ia berusaha terlihat tegar.

"Kau nggak paham, kan? Kalian bukan hanya masalah untuk dunia kalian sendiri. Keberadaan kalian mengancam stabilitas ruang-waktu. Dan aku bertugas memastikan itu nggak terjadi lagi," jawab Raka dengan tegas.

Arata mengepalkan tangan, rasa amarah dan frustrasi berbaur dalam dirinya. "Aku tahu aku melakukan kesalahan," katanya, nadanya rendah namun penuh emosi. "Tapi aku nggak berniat menghancurkan apa pun. Kau nggak bisa menghakimi kami kayak gini!"

Raka menatapnya sejenak, lalu menekan layar holografis di pergelangan tangannya. "Aku nggak menghakimi. Aku cuma menjalankan tugas."

Cahaya dari dinding sel tiba-tiba berubah menjadi merah. Sebuah perangkat kecil muncul di tengah ruangan, memproyeksikan layar hologram besar. Peta multiverse yang kompleks terpampang, garis-garis bercahaya membentuk jaringan rumit dengan ratusan titik. Namun, salah satu garisnya tampak rusak, memancarkan kilatan tak beraturan.

"Coba lihat ini," kata Raka sambil menunjuk layar. "Ini dampak dari perjalanan waktu ilegal yang kau lakukan waktu itu. Jalur waktu yang hancur ini menciptakan ketidakstabilan di berbagai dimensi. Kalau nggak diperbaiki, semuanya akan runtuh."

Arata memandang layar itu dengan rasa bersalah yang perlahan menghantam dirinya. Bayangan orang-orang yang ia cintai di dunia asalnya melintas di pikirannya. Ia tidak pernah membayangkan tindakannya akan memiliki konsekuensi sebesar ini.

Chrono-FluxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang