Volume 2: Chapter 7

1 2 0
                                    

Chapter 7: Acceptance

---

Malam hari di Denpasar City, tahun 2099, menyuguhkan keindahan futuristik yang memikat. Langit gelap dihiasi kilauan lampu neon dan drone-drone kecil yang beterbangan dengan rute teratur. Dari atas sebuah bangunan, Arata dan Casstar duduk, menikmati momen hening setelah perjalanan mereka yang panjang.

Arata melipat tangan di depan dada, matanya menatap jauh ke arah lampu kota yang gemerlap. "Keren ya, Kas. Di dunia ini, semuanya terasa maju. Dan, kota ini... benar-benar kota yang nggak pernah tidur, ya? Orang-orang kayaknya lupa kalau malam itu buat istirahat."

Casstar terkekeh kecil sambil menyesuaikan posisi duduknya. "Mungkin karena mereka nggak tahu gimana rasanya jadi incaran organisasi gila. Hidup mereka cuma urusan kerja, makan, tidur, ulangi. Kadang, aku iri juga."

Arata menoleh, sedikit terkejut mendengar pernyataan itu. "Iri? Maksudmu, kamu beneran pengen hidup kayak gitu? Rutin, terkekang dan membosankan gitu?"

Casstar memandang ke bawah, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sebuah botol kecil berisi kopi dingin yang tadi ia beli di salah satu pedagang jalanan.
"Nggak selalu sih. Tapi, ya, ada kalanya aku ngerasa lebih baik hilang dari semua ini. Hidup kayak mereka, tanpa ada yang ngejar, tanpa harus lari dari siapapun."

Arata tertawa pendek, meski suaranya terdengar hambar. "Haha, menghilang, ya? Kayaknya itu cuma mimpi buat kita. Mereka bakal tetap nemuin kita, bahkan kalau kita sembunyi di ujung galaksi, ini cuma perihal waktu aja."

"Huftt... iya sih, tapi nggak ada salahnya kan kalau berharap." Casstar mendongak menatap langit, matanya memantulkan kerlip cahaya neon yang bertebaran.
"Kadang aku mikir, apa yang bakal terjadi kalau kita bisa beneran hilang? Maksudku... kayak nggak pernah ada di dunia ini."

Arata terdiam sejenak, pikirannya terjebak antara realita dan lamunan. "Kalau kita nggak pernah ada, mungkin dunia ini bakal lebih damai. Tapi, siapa yang tahu? Mungkin juga bisa jadi lebih kacau tanpa adanya kita."

Casstar mengangkat bahu dan kedua alisnya. "Hmm, ada benarnya juga."

Dia lalu menawarkan minuman kopi instan yang sedari tadi ia pegang kepada Arata. "Mau coba ini? Katanya minuman ini bisa bikin kita lupa sejenak pada semua masalah."

Arata menatap botol kopi itu dengan senyum tipis. "Aku rasa aku nggak butuh itu buat lupa, Kas, makasih. Masalahku terlalu nyata untuk dilupakan saat ini."

Belum sempat Casstar membalas, tiba-tiba sebuah getaran halus terasa di bawah kaki mereka. Botol di tangan Casstar jatuh, berguling hingga ke tepi gedung.

Mereka saling pandang, kebingungan, lalu Casstar bergumam pelan, "Kau juga merasakannya?"

"I-iya... Kenapa ini? Ada gempa kah?" ujar Arata sambil bangkit berdiri, tatapannya tertuju ke arah langit malam. Benang molekul yang tadinya melayang lembut di udara kini bergerak tidak teratur, berpusar seperti badai kecil sebelum akhirnya kembali ke dalam jarinya. Rasanya asing, hampir seperti peringatan yang tidak diucapkan.

Casstar, yang awalnya masih duduk pun ikut berdiri. "Satou, perasaan gempa bumi rasanya nggak begini deh." Nada paniknya memecah keheningan.

Arata mengerutkan alis, matanya mengamati langit yang mulai berubah warna. "Apa mungkin... ini ada hubungannya dengan Spectral Order? Apa mereka udah sampai ke sini buat nyari kita?!"

Sebelum Casstar bisa merespons, sebuah suara menderu dari kejauhan. Mereka menoleh dan melihat sebuah portal bercahaya muncul di atas langit. Dari dalamnya, muncul tiga orang pria dewasa mengendarai motor terbang berwarna merah melaju dengan kecepatan tinggi, melayang anggun di atas kota. Sorotan lampu kendaraan mereka menyapu gedung-gedung, seperti predator yang sedang berburu mangsa.

Chrono-FluxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang