Volume 1: Chapter 6

2 2 0
                                    

Chapter 6: Time Convergence

---

Di masa sekarang, Kaede dan teman-temannya telah menyusun strategi pencarian untuk menemukan Arata yang menghilang secara misterius.

Mereka membagi kelompok untuk mempercepat pencarian.

Kaede dan Andreas menuju perpustakaan, menyisir rak demi rak sambil sesekali menanyakan keberadaan Arata pada siswa yang mereka temui. Di sisi lain, Rika dan Zanuar berlari kecil ke gedung pusat olahraga, mengecek setiap ruangan latihan. Sementara itu, Aditya dan Belva menyisir taman kota, berharap menemukan Arata di tempat terbuka.

Namun, setelah tiga puluh menit mencari, hasilnya tetap nihil. Tidak ada jejak keberadaan Arata di mana pun. Andreas yang merasa frustrasi segera menginstruksikan semua tim untuk berganti lokasi pencarian melalui perangkat komunikasi mereka.

"Semua tim, kembali ke titik kumpul dalam sepuluh menit. Kita coba di lokasi lain," kata Andreas dengan suara tegas, meski raut wajahnya menampakkan kelelahan.

Saat Andreas dan Kaede mulai meninggalkan perpustakaan, Kaede tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan itu begitu kuat hingga membuatnya refleks menoleh ke belakang. Matanya langsung tertuju pada gedung utama sekolah yang berada sekitar seratus meter di kejauhan.

Kaede terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gedung utama sekolah tampak bergetar dan glitching—bagian-bagian temboknya tampak memudar seolah akan menghilang dari keberadaan.

"Dre... Dre! Lihat ke belakangmu!" seru Kaede dengan suara gemetar.

Andreas, yang awalnya bingung dengan nada suara Kaede, menoleh. Ketika melihat apa yang dimaksud, matanya membelalak.

"Hah?!! Apa-apaan itu?! Gedung sekolah kita... seperti mau runtuh!" serunya panik.

Tanpa pikir panjang, mereka segera berlari menuju gedung utama, mengabaikan rasa takut dan rasa lelah yang melanda mereka.

Tiga Puluh Menit Sebelumnya

Di lantai dua gedung utama, Albert, mantan kepala sekolah yang kini menjadi ilmuwan gila, berdiri di ruang kontrol dengan wajah penuh kepuasan. Setelah berhasil mengaktifkan semua laser pemecah partikel, ia merasa telah mencapai puncak obsesinya.

"HAHAHA! Sudah lama aku menunggu hari ini!" serunya dengan tawa keras yang bergema di seluruh ruangan.

Tanpa ragu, Albert mulai menembakkan lasernya ke berbagai arah, dimulai dari kamar mandi di lantai dua. Sinar hijau memancar, menghancurkan dinding dan membuat struktur gedung bergetar.

"Albert! Apa yang kau lakukan?! Kau mau menghancurkan semuanya?!" teriak salah satu ilmuwan yang mencoba menghentikannya.

Namun, Albert tidak mengindahkan peringatan itu. Dengan senyum dingin, ia mengarahkan lasernya ke ilmuwan tersebut. Dalam hitungan detik, pria malang itu lenyap menjadi debu. "Kalian hanya penghalang! Aku tidak membutuhkan kalian lagi!" ujarnya dengan nada penuh kebencian.

Di lantai satu, Casstar mendengar suara ledakan dan tawa Albert yang menyeramkan. la langsung berlari menaiki tangga menuju sumber suara, penasaran sekaligus khawatir. Ketika sampai di lantai dua, ia menemukan Albert sedang menggenggam kerah seorang ilmuwan terakhir, bersiap untuk menembaknya.

"Hah?! Itu kan Pak Albert... Tapi, kenapa dia jadi begini?!" gumam Casstar, terkejut.

Albert menyadari keberadaan Casstar dan tanpa ragu menembak ilmuwan terakhir itu. Lalu, ia menoleh dengan senyum lebar yang penuh arti.

"Eh, kamu... sudah melihat semuanya, ya?" ucapnya dengan nada datar yang justru terasa mengintimidasi.

Casstar mengepalkan tangan. "Oi, bukannya kau mantan kepala sekolah?! Kenapa kau melakukan ini di sekolah?!"

Chrono-FluxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang