Volume 2: Chapter 10

1 1 0
                                    

Chapter 10: The Star Eyes

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhku terlempar ke dalam portal yang terbuka dengan tidak stabil, meninggalkan Arata di belakangku. Rasa bersalah dan kesal berbaur menjadi satu, menghantui pikiranku saat gravitasi portal itu menarikku semakin dalam.

Aku masih bisa merasakan panasnya ledakan itu di kulitku. Nafasku tersengal, seolah paru-paruku diperas oleh gravitasi yang tiba-tiba. Tapi... aku di mana?

Saat aku sadar sepenuhnya, mataku terbuka, dan pemandangan yang kulihat adalah... sekolah. Ya, sekolahku. Aku berdiri tepat di depan gerbang besar itu, di bawah bayangan pohon rindang yang sudah sangat aku kenali.

“Ini... aku kembali?” gumamku dengan suara parau. Tanganku menyentuh pagar gerbang besi itu, merasakan dinginnya logam.

Udara pagi yang segar mengalir lembut, membawa aroma rumput basah setelah hujan semalam. Semuanya terasa begitu damai, hampir tidak nyata. "Satou, sialan kau."

Aku mencoba mengatur nafasku, tapi dadaku masih terasa sesak. Bayangan terakhir yang kulihat—Arata mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanku—masih membekas seperti luka bakar di pikiranku. Aku mengepalkan tangan, mencengkeram kuat jaketku sendiri, mencoba menahan rasa bersalah yang semakin menusuk.

“Kenapa kau melakukan ini, Satou?!” Aku berteriak, tapi hanya suara burung gereja yang membalas, menciptakan ironi yang menyakitkan.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berpacu cepat. Tapi kemudian... sesuatu terasa aneh.

Udara di sekelilingku mendadak berubah. Angin yang tadi lembut kini berputar dengan kecepatan yang tak wajar. Suara gemuruh samar mulai terdengar di belakangku.

Aku menoleh perlahan, dan di sanalah aku melihatnya—sebuah portal lain.

Portal itu tidak seperti yang sebelumnya. Cahaya ungu dan biru yang berputar di tepinya tampak seperti petir yang saling bertabrakan. Di tengahnya, hanya kehampaan hitam yang tampak begitu mengancam.

Sebelum aku sempat bereaksi, gravitasi dari portal itu menarikku dengan paksa—lagi. Aku mencoba melawan, tanganku meraih pagar gerbang, tapi kekuatannya terlalu besar. Dalam hitungan detik, tubuhku tersedot masuk (lagi).

Ketika membuka mata, aku merasa seperti dilemparkan ke dalam paradoks ruang yang tak berujung. Dunia-dunia yang aku lewati melaju begitu cepat, terlalu cepat hingga aku tidak bisa mengenali apa pun. Setiap dimensi yang kulewati seperti pecahan kaca yang beterbangan di sekelilingku.

Aku merasa tubuhku menabrak sesuatu—lapisan-lapisan tak terlihat yang terasa seperti dinding kaca. Pecahan itu membentur wajahku, tubuhku, menciptakan rasa sakit seperti ribuan jarum yang menusuk kulitku.

“Woi, woi, berhenti! BERHENTI!!” Aku berteriak, tapi suaraku tidak lebih dari bisikan kecil di tengah badai.

Cahaya di sekelilingku berubah terus-menerus, melintasi spektrum warna yang aku bahkan tidak tahu bisa ada. Hijau zamrud, ungu pekat, putih menyilaukan, hingga hitam legam yang seakan menelan segalanya. Mataku mulai terasa sakit.

Cahaya yang berubah terlalu cepat, terlalu tajam, seperti pedang yang menusuk retina. Aku mencoba memejamkan mata, tapi tetap saja aku bisa merasakan kilauan itu menembus kelopak mataku. Rasanya seperti menatap matahari yang meledak, berulang-ulang.

“Arghh... apa-apaan ini, bajingan?!” Aku mendengar suaraku sendiri, tapi bahkan aku tidak yakin itu nyata.

Aku tidak tahu berapa lama aku terjebak di siklus ini. Rasanya seperti berjam-jam, atau mungkin hanya beberapa detik. Tapi setiap momen terasa seperti siksaan. Tubuhku semakin lemah, pikiranku kabur, hingga akhirnya, aku merasakan gravitasi lain menarikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chrono-FluxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang