Mengobati Luka

129 13 1
                                    

Matahari telah memunculkan dirinya kembali dalam beberapa jam yang lalu, tetapi entah mengapa rasanya mata Jovaniel sangat sulit terbuka.

Tubuhnya yang terus terbaring itu seolah semakin terasa begitu lemas, bahkan untuk bangkit dari kasur saja tak mampu akibat tenaga yang ia keluarkan sudah terkuras habis.

Bagaimanapun juga Jovaniel tak bisa terus menerus memanjakan tubuhnya tanpa melakukan aktivitas apapun, secara paksa ia membangkitkan tubuhnya dan segera membersihkan dirinya.

Waktu yang telah ia habiskan secara sia-sia menginap di rumah Haidar tentu tidak terasa, ini kali pertamanya Jovaniel tinggal di rumah sang Kekasih dalam waktu 3 hari berturut-turut.

Isi kepalanya menjadi kehilangan arah tak tahu apa yang harus ia pikirkan saat ini, bahkan Jovaniel sudah beberapa hari tidak hadir Kuliah.

15 menit kemudian

Haidar membuka matanya perlahan, mendapati cahaya matahari yang menerobos tirai kamar. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan pandangan. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh baginya.

Kasur di sampingnya kosong.

"Niel?" panggil Haidar serak, suaranya masih berat karena baru bangun tidur, ia tak mendengar ada jawaban. Tanpa berpikir panjang, Haidar langsung bangkit, panik mulai menyelimuti dirinya.

Haidar memeriksa sekitar kamar, tapi tidak menemukan Jovaniel. Pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Apa mungkin Jovaniel pergi tanpa memberitahunya? Apakah ini akhir dari semuanya, lagi?

Tanpa pikir panjang, ia melangkah keluar kamar, melewati lorong dengan langkah cepat. Namun, suara air mengalir dari kamar mandi membuatnya berhenti.

Haidar menghela napas lega, menyadari bahwa sang Kekasih tak pergi. Ia mengetuk pintu kamar mandi dengan lembut, memastikan apa yang ia pikiran itu benar dan mencoba menahan diri agar tidak terlalu terlihat panik.

"Niel, kamu di dalam?" tanya Haidar

"Kak Hesa? Iya aku lagi mandi." jawab Jovaniel singkat dari balik pintu.

Haidar merasa lega mendengar suaranya, tetapi itu belum cukup. Ia tetap berdiri di depan pintu, menunggu dengan cemas.

"Sayang, kamu kenapa gak bilang apa-apa? Aku kira kamu pergi." gumam Haidar, nadanya terdengar seperti anak kecil yang ketakutan.

Pintu kamar mandi terbuka perlahan, memperlihatkan Jovaniel yang sudah selesai mandi dengan handuk melingkar di pinggangnya. Rambutnya masih basah, dan wajahnya terlihat lelah.

"Aku cuma mandi, Kak. Apa yang bikin kak Hesa sepan-"

Jovaniel tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Haidar langsung menariknya ke dalam pelukan erat.

"Jangan pernah bikin aku khawatir lagi kayak tadi." bisik Haidar, nadanya serius namun penuh kasih.

Jovaniel terdiam di pelukan Haidar, ia bisa merasakan detak jantung laki-laki itu yang berdetak cepat. Ia tahu, di balik sikap dominan Haidar, ada ketakutan besar di dalam dirinya.

"Maafin aku." ujar Jovaniel pelan, merasa bersalah meskipun ia tidak benar-benar melakukan kesalahan. Mendengar itu, Haidar melepas pelukannya sedikit, menatap dalam-dalam ke mata Jovaniel.

"Aku gak bisa kehilangan kamu, Niel. Aku tau kita sempet berantem hebat, tapi aku gak mau itu jadi alasan buat kita beneran berakhir. Aku gak bisa, cantik."

Jovaniel menggigit bibir, merasa luluh dengan ketulusan di mata Haidar. "Aku juga gak mau, kak Hesa. Tapi aku gak tau apakah aku cukup baik buat kamu."

Haidar menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kamu lebih dari cukup, Niel. Kalau ada yang salah, aku yang harus belajar lebih baik. Jadi tolong, jangan pernah berpikir ninggalin aku lagi."

You're Mine, JovanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang