Akhir Dari Segalanya

74 7 4
                                    

Langkah Haidar terdengar tergesa di sepanjang lorong fakultas. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi satu nama: Jovaniel. Meski matanya terus mencari ke sana ke mari, hasilnya tetap nihil. Setiap sudut kampus yang biasa jadi tempat nongkrong Jovaniel sudah ia datangi, tapi bayangan pemuda itu tak kunjung terlihat.

Dia menghela napas berat, berhenti di depan ruang kelas yang pintunya terbuka separuh. Ia melongok ke dalam, berharap mungkin saja Jovaniel ada di sana. Tapi kosong. Yang ada hanyalah sekelompok mahasiswa lain yang sedang sibuk berdiskusi.

Ini bukan pertama kalinya ia mencari Jovaniel tanpa hasil. Sejak insiden di restoran malam itu, Haidar merasa dunianya berubah drastis. Ia tahu kesalahannya besar, tapi ia tidak mau menyerah. Dia harus bicara, harus menjelaskan semuanya.

Waktu terus berjalan. Jam kuliah pagi hampir selesai, dan Haidar akhirnya menyerah untuk sementara. Dengan lesu, ia kembali ke ruang kelasnya, menunduk dalam perjalanan sambil menendang-nendang kecil kerikil di jalan.

10:30AM

Saat jam istirahat tiba, suasana kelas langsung ramai dengan mahasiswa yang bergegas keluar. Biasanya, Haidar akan ikut bergabung dengan Jayden atau beberapa teman lainnya untuk makan siang di kantin. Tapi kali ini berbeda. Bukannya menuju kantin, Haidar malah melangkah dan kembali berjalan keluar, kali ini dengan tekad yang lebih kuat.

Dia harus mencari Jovaniel lagi.

Langkahnya membawa Haidar ke taman utama kampus, tempat yang biasanya ramai saat istirahat siang. Namun, pandangan Haidar langsung tertuju pada satu sudut taman yang agak sepi. Di sana, di bawah pohon rindang, ia melihat dua sosok yang begitu familiar.

Jovaniel sedang duduk di bangku taman, wajahnya terlihat tenang meski ada sedikit kemurungan di matanya. Di sebelahnya, Satya duduk dengan posisi yang sedikit condong, menggenggam tangan Jovaniel sambil berbicara pelan. Haidar tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi pemandangan itu sudah cukup untuk membuat dadanya terasa panas.

Dia mengeratkan genggaman pada pakaiannya, mencoba menahan diri agar tidak meledak begitu saja. Bagaimanapun juga, ia tahu emosinya tidak akan membantu. Ia butuh bicara dengan Jovaniel. Butuh menjelaskan semuanya.

Haidar menarik napas dalam, lalu melangkah mendekat. Semakin dekat ia berjalan, semakin jelas suara percakapan mereka terdengar.

"Kamu tau, aku bakal selalu ada buat kamu. Aku gak bakal ninggalin kamu kayak orang lain," ujar Satya dengan nada penuh keyakinan, sambil menatap Jovaniel dalam-dalam.

Jovaniel tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, tampak lebih nyaman dengan kehadiran Satya.

Haidar merasa hatinya semakin tergores, tapi ia menahan diri. Ketika akhirnya ia berdiri cukup dekat, ia memanggil nama Jovaniel. "Niel,"

Kedua kepala itu langsung menoleh bersamaan. Mata Jovaniel sedikit melebar, sementara Satya langsung memasang ekspresi tidak senang. Haidar menatap Jovaniel dengan tatapan penuh harap.

"Aku perlu ngobrol sama kamu,"

"Dia lagi gak mau diganggu, jadi mending lo pergi aja dah." sela Satya, Haidar mengabaikan Satya, kedua matanya tetap menatap Jovaniel.

"Niel, aku cuma mau jelasin semuanya."

Jovaniel diam, menunduk tanpa membalas tatapan Haidar. Hatinya penuh keraguan. Di satu sisi, ia ingin tahu apa yang Haidar ingin katakan, tapi rasa sakit yang ia rasakan masih begitu nyata.

"Niel," ulang Haidar dengan suara yang lebih lembut. Satya, yang sejak tadi memegang tangan Jovaniel, malah menggenggamnya lebih erat.

"Dia udah cukup dengerinnya, lo gak sadar kalo lo nyakitin dia?"

You're Mine, JovanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang