"Udah berapa kali gue bilang jangan main di trek lagi! Liat apa yang terjadi sekarang? Lo hampir aja di penjara, Lil!" Aslan -kakak Kalil- berkata sambil menatap tajam adiknya, berusaha mengintimidasi namun yang terjadi malah mendapat tatapan datar dari adiknya.
Merasa percuma, ia menghela napas. "Gue gak tahu harus gimana lagi, Lil. Lo kenapa sih? Kenapa berubah gini? Ma-"
"Lo berisik. Berhenti jadi kakak yang baik oke? Gue bisa ngurus diri gue sendiri," Kalil beranjak dari sofa putih di ruang tamu rumahnya.
"Kata seseorang yang hampir di masukin ke penjara remaja," balas Aslan sarkatis. "Oke gue emang bukan kakak yang baik, tapi karena gue udah bantuin lo gue mau lo ngelakuin sesuatu buat gue."
Kalil masih menatap kakaknya datar. "Duh, gak ikhlas banget sih lo bantuin orang."
"Gue pengacara sekaligus pengusaha yang masih memikirkan untung rugi suatu hal," Aslan berbicara sambil melipat tangannya dan menyandarkan punggungnya di sofa.
Kalil mendesis, menatap kakaknya tajam kemudian menengadah dengan jengah. "Jadi apa?"
"Cukup jadi anak baik dan dapetin universitas negeri yang bagus." Aslan berujar, kemudian ia mengernyit. "Ganti deh, gue gak yakin lo bisa jadi anak baik. Cukup diterima di universitas negeri aja dan gue bakal kasih mobil yang lo impiin sebagai imbalannya."
Tanpa dapat dicegah, mulut Kalil terbuka lebar. Demi apa pun ini penawaran yang sebenarnya lebih menguntungkannya daripada kakaknya. Selain itu, ini mobil yang masuk ke dalam salah satu daftar mobil tercepat di dunia. Tentu harganya bukan hanya satu-dua milyar, bahkan membayangkan jumlah uangnya pun membuat kepalanya pening.
"Se-rius?" Tanya terpatah.
Aslan mengangguk dengan senyum puas. "Iya, tapi lo harus diterima di jurusan ekonomi atau hukum."
Seketika bahu Kalil menurun. Itu dua jurusan dengan passing grade tertinggi di universitas negeri. Dan walau pun Kalil tidak bisa dikatakan bodoh, tentu nilai rapotnya tak mendukung untuk diterima di universitas ternama melalui jalur undangan. Dan jika ia mengikuti jalur ujian bersama, itu artinya ia harus menghadapi ribuan siswa untuk merebutkan satu bangku di jurusan tersebut. Tapi, ini mobil impiannya! Masa seorang Kalil menyerah karena itu semua? Dan kalau pun ia menyerah, kakaknya pasti akan meledeknya.
"Oke. Gak harus melalui jalur undangan 'kan yang penting?" Aslan mengangguk sebagai jawaban membuat Kalil tersenyum.
"Iya. Gak masalah kalau lo melalui jalur ujian bersama atau ujian mandiri, gak masalah asal lo gak beli bangku aja." Aslan menyindir dengan senyuman, seakan ia tengah meledek adiknya yang mengompol.
"Ya kali, dikira uang tabungan gue banyak apa. Tenang aja gue pasti bakal dapetin mobil itu jadi lebih baik lo bersiap-siap karena tabungan lo mungkin bakal menipis," senyuman tipis terukir di bibir Kalil. Setelah mengatakan itu ia menarik jaket kulitnya dan kunci motornya di meja.
"Eit, mau ke mana?"
Kalil menoleh, "Pulang?"
Aslan menggeleng, melangkah mendekat kemudian mengambil kunci di tangan Kalil dengan mudah. "Nah silakan pergi."
Untuk ke dua kalinya, Kalil kembali melongo. "Lho, kuncinya? Gue pulang naik apa?"
Aslan hanya mengendikkan bahunya. "Urusan lo. Angkot ada, transjakarta masih beroperasi dan di dekat halte ada ojek. Tinggal lo pilih."
Kalil berdecak, kesal. "Gue gak punya uang, Lan."
"Terus?"
"Ya menurut lo gue harus jalan gitu sampe apartemen?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BADASS
Teen Fiction"Gue beruntung ketemu lo." * B A D A S S * p.s: setting, plot dan lainnya masih berantakan.