Tiga Belas

10.5K 908 38
                                    

Menurut Kalil, tak ada yang lebih membahagiakan dibanding saat ia menghabiskan waktunya sendiri di balkon apartemennya. Ditemani secangkir nescafe, biskuit dan gitar kesayangannya, terasa benar-bebar sempurna. Rasanya sudah lama Kalil tak bersantai seperti ini. Terakhir kali ia bersantai seperti ini, Aslan datang dan mengganggu waktunya. Sekarang ia harap tak ada yang mengganggunya.

Tak banyak --bahkan rasanya tak ada yang tahu-- jika seorang Kalil Gibran addicted dengan musik. Ia suka bermain gitar, ia suka bermain piano, bass, dan alat musik lainnya tanpa merasa kesulitan untuk melakukannya. Kalil suka bernyanyi, suaranya pun tidak bisa dikatakan jelek walau tak juga sebagus Judika. Intinya bermain musik seakan menghitung lajur inflasi, sama-sama menyenangkan. Kecintaan Kalil pada musik sama dengan kecintaannya pada ekonomi --tapi tidak dengan akuntansi.

Kalil melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar. Di sana tertera nama Andre, Kalil langsung menyentuh layarnya dan membuat panggilan itu dalam mode loudspeaker.

"Kalil!" Suara Andre diujung sana terdengar seperti perempuan. "Gawat! Emergency mode A1!"

Kini Kalil menaruh gitarnya di sandaran kursi, "pelan-pelan deh, emergency A1 apaan sih?"

Diujung sana terdengar helaan napas Andre, "Emergency first date with Anita!"

Kali ini Kalil langsung tertawa, "ya bagus lah! Kok malah gawat sih?"

"Lo tau sendiri gue ini kaku kalo ama cewek! Gue bahkan gak tau harus pake baju apa?" Andre membuang napas, frustasi. "Gimana kalo dia gak suka cowok yang terlalu over dandannya? Atau gak suka yang terlalu cuek? Duh gue harus gimana, Lil? Ya ampun, jangan diam aja!"

Kalil melongo, walau ia tahu Andre tak bisa melihatnya. "Lo tau gak, Ndre? Now you sound like a girl. Dan itu menjijikkan. Lo gak perlu berubah atau bingung mau gimana, lo cuma perlu jadi diri lo sendiri kali."

"Thanks, man! But now you sound like a girl too," balas Andre dengan kekehan. "Oke, kalau begitu gue mau prepare dulu yak! Nanti gue hubungin lagi kalau butuh advice. Bye, bestie!"

Kalil menatap ponselnya heran, "bocah aneh."

Kemudian Kalil meraih gelas berisi nescafe dan menyesapnya. Ia menghela napas, rasanya akhir-akhir ini ia merasa bosan. Hidupnya akhir-akhir ini sangat, monoton. Mungkin Kalil harus keluar dan menghirup udara segar. Mungkin ia akan merencanakan liburan akhir pekan nanti. Ya, Kalil harus melakukannya.

"Eh, tapi 'kan minggu depan Aslan nikah!"

* * *

Beberapa hari ini Killa belum bertemu Kalil, bukan karena mereka saling menghindar atau apa pun, tapi entah mengapa mereka terasa jauh. Kalil sibuk dengan kegiatannya, begitu juga dengan Killa. Lagipula, mereka juga tengah sibuk dengan ujian akhir semester.

"Hoi!" Alden tiba-tiba mengagetkannya dengan es krim yang kini berada tepat di depan wajah Killa. "Bengong aje lu! Kesambet baru tau rasa dah."

Killa memutar manik matanya, "haha, lucu banget sih lo."

Alden memberengut, "La, gue diputusin."

"Kenapa?"

"Dia ... capek sama gue katanya. Gue sendiri gak bisa nahan dia La," Alden mulai menggigit es krimnya. "Gue mau dia bahagia, sementara dengan dia stay sama gue dia malah gak bahagia."

Tiba-tiba Killa merasa dadanya seakan terhimpit. Keadaan dimana rasanya jantung berhenti mendadak, sesak sekali rasanya. Killa berdeham, "gak apa, Al, kalau jodoh gak kemana. Mungkin udah jalannya begini."

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang