Lima Belas

10.2K 944 50
                                    

"La kita putus," kalimat itu keluar dengan lancar dari bibir Kalil. Sementara Killa yang berada di depannya hanya dapat menatapnya lurus --dan kosong. "Oke," balas Killa.

Dan kemudian keduanya berpisah, menuju arah yang berlawanan.

* * *

Killa bohong jika ia mengatakan ia baik-baik saja. Tapi, ia sendiri sadar dengan posisinya saat ini, Kalil butuh waktu. Sedangkan Killa tak dapat berdiri di samping Kalil jika lelaki itu memilih untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Bukan karena Killa tidak sayang Kalil, tapi karena ia sendiri sadar, berpisah adalah jalan yang terbaik untuk keduanya kini.

Killa tak menangis, walau pada kenyataannya dadanya terasa sesak, membuatnya sejak tadi menepuk dadanya berulang kali. Killa mendongak, menatap langit malam tanpa bintang dari balkon kamarnya. Pikirannya kembali mengulang kejadian itu ...

Hari itu jumat dan Killa tengah mengerjakan soal geografi saat Andre datang sambil menggebrak mejanya.

"La, Kak Aslan meninggal," Killa hanya terdiam saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir Andre.

"Tapi, kemarin abis operasi, Ndre, gimana bisa? Kata dokter ..." kata-kata Killa terputus, suaranya tersekat di tenggorokan. "Bukannya kak Aslan udah sembuh?"

Andre menghela, ia menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Gak tau, gue gak ngerti gimana tapi tadi pagi tiba-tiba kak Aslan kejang dan ternyata tubuh kak Aslan menolak donor jantungnya."

Kaki Killa rasanya lemas sekali, untungnya ia dalam posisi duduk. "Kalil?"

"Dia udah jalan ke rumah sakit duluan, gue juga mau ke sana. Mau ikut?" Killa langsung mengangguk dan memasukkan barang-barangnya dengan asal kemudian menyampirkan tasnya di bahu kanan.

"Ya udah yuk," Andre sendiri telah menyampirkan tasnya sejak datang ke kelas Killa.

"La, mau kemana?" Alden menarik tangan Killa, "kok bawa tas?"

"Kak Aslan meninggal," jawab Killa seadanya. Walau Alden tak mengetahui jelas apa yang terjadi, lelaki itu tetap menarik tasnya dan mengikuti Killa dan seorang yang diketahui namanya Andre.

Untungnya tiap jumat, sekolah selesai pukul satu siang. Ketiganya berangkat menuju rumah duka menggunakan mobil Alden. Killa tak banyak bicara, gadis itu terus saja menatap keluar jendela dengan jemari yang terus bergerak gelisah. Sedangkan Alden hanya dapat mengintip Killa dari kaca mobil.

Lima belas menit kemudian mereka sampai, ini kali pertama Killa berada di rumah Kalil. Rumah besar, berwarna putih dengan pilar besar, rumah Kalil bagai kuil dewa-dewi Yunani. Mata Killa langsung mendapati Kalil yang duduk di meja bar dapur. Lelaki itu tak bergabung dengan keluarganya, Killa sendiri hanya sekilas menyapa dan mengucap belasungkawa pada keluarga Kalil.

"Lil," panggilnya lirih. Tapi lelaki itu hanya bergeming, "Lil, gue di sini."

Tangan Killa terulur, mengusap punggung Kalil lembut kemudian lelaki itu berbalik dan memeluknya erat. Kalil menangis dan hati Killa teriris, tangisan Kalil menyakiti hati Killa. Tangisan lelaki itu tak bersuara, namun Killa tahu jika seragamnya telah basah karena air mata Kalil. Killa tak berkata, hanya terus mengusap punggung Kalil.

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang