Sembilan

11K 1K 36
                                    

Kalil melempar beberapa kerikil lagi ke jendela kamar Killa, namun gadis itu tak juga merespon. Ia kembali menelfon Killa, tapi sayangnya gadis itu seakan mengacuhkannya. Ia mengirim puluhan pesan, namun gadis itu hanya membacanya.

Ia mendesah, menghentikan aktivitas melempar kerikilnya. Kemudian Kalil terduduk lesu di atas rumput, usahanya seakan sia-sia.

Lala bby, keluar dong. Padahal gue mau ngajak ke pasar malam, lho.

Kalil mendongak, ia tahu Killa tak akan membalasnya. Tapi jika gadis itu memilih ikut, ia pasti akan membuka jendela. Kalil mulai menghitung mundur dari dua puluh.

"Tujuh," lirihnya saat lampu kamar gadis itu mulai menyala. Kalil tersenyum, "lima."

"Ti-," jendela kamar Killa terbuka. "Ga," Kalil tersenyum.

"Hei, cantik," Kalil mengangkat tangan kanannya. "Akhirnya nonggol juga, cepet turun. Kalo lo lama, pasar malemnya keburu tutup."

Killa memberengut, "berterima kasih lah sama pasar malam. Dan janji lo bakal beliin gue gulali."

Kalil mengangguk, "iya janji. Cepet turun."

Kemudian pintu menuju beranda kamar Killa terbuka. "Gue gak bisa lewat depan, papa masih bangun."

Kalil langsung berdiri dan merentangkan tangannya lebar. "Loncat aja, gue bakal tangkep kok."

Mata Killa langsung membulat, "Gila! Ini lantai dua, Gib!"

Dengan santai ia mengangkat bahunya. "Terus?" Kalil bertanya, terlalu santai hingga membuat Killa ingin melemparnya dengan pot kaktus miliknya.

"Okey, lo tau gue gantungin hidup gue sama lo. Lo harus tangkep gue okey?" Kalil mengangguk sebagai jawaban.

Killa sendiri langsung menaiki pagar beranda kamarnya, berdiri di sana sambil menghitung mundur dalam hati. Ia loncat dengan mata terpejam. Mati gue, lirihnya. Namun hal yang ia takutkan tak terjadi, Kalil menepati janjinya. Killa jatuh tepat di dalam dekapan Kalil yang tersenyum saat melihat kedua mata Killa terpejam.

Iseng, ia memencet hidung Killa. "Melek oi, cepet, waktu kita gak lama nih."

Killa langsung membuka kelopak matanya, "iya iya. Eh, turunin gue lah. Modus amat lo, Gib!"

Kalil tersenyum, miring. Dengan sengaja ia malah melempar Killa di udara, membuat gadis itu menutup mulutnya untuk menahan pekikan. "Gibran, turunin gue, nanti kita ketauan gimana?" Killa berbisik sembari memukul dada Kalil.

Kalil mengangguk, menurunkan Killa secara perlahan. "Ya udah, yuk ah." Kalil meraih tangan Killa ke dalam genggamannya, membuat keduanya tersenyum kecil walau tak saling mengetahui.

Tangan Kalil dan Killa terpaut sempurna seakan keduanya ciptakan untuk satu sama lain. Seakan terdapat benang yang terjalin diantara dua kelingking mereka, membuat suatu sulaman dengan nama takdir. Keduanya bahkan merasa nyaman pada satu sama lain, tak menginginkan suatu hal buruk terjadi nantinya. Tak ingin benang yang telah terurai menjadi kusut kembali.

Perjalanan tersebut sebenarnya tak terlalu lama, hanya saja menurut keduanya perjalanan tersebut cukup untuk lebih mengetahui diri masing-masing.

"Eh, gue gak tau tanggal lahir lo," ujar Kalil saat mereka berbelok keluar dari komplek perumahan Killa.

"Emang kalo tau mau ngapain? Ngasih kado?" Balas Killa asal. Kalil langsung mendengus, "serius, Labab."

"Hah? Labab?"

Kalil mengangguk, "iya, Lala baby babe."

Detik berikutnya Killa langsung memukul helm Kalil kencang. "Haha, geli bego."

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang