Sembilan Belas

10.5K 964 21
                                    

"Kalil, apa kabar Sayang? Mama dapet kontak kamu. Now, you don't need to worry about me or your future. Kalil Sayang, kita bisa pindah. Kita pergi ke London. Or anywhere you want us to be." Suara itu berhenti. "Maaf karena Ibu baru bisa nemuin kamu sekarang. Sayang, maaf karena Ibu gak ada di sisi kamu saat kamu butuh Ibu. Maaf. Maafin Ibu."

Kalil menjatuhkan dirinya, menyandarkan tubuhnya yang terasa kaku pada tembok. Kepalanya penuh dengan ingatan wanita itu. Ibunya. Sudah berapa lama wanita itu pergi? Kalil tidak ingat. Kalil tidak membencinya sungguh, ia malah bahagia. Mendengar suara yang hampir ia lupakan dan suara yang terdengar sesenggukan seperti itu membuat ia merasa wanita itu masih memperhatikannya. Dan yang penting Ibu menginginkan Kalil ikut dengannya.

"Kamu gak usah khawatir lagi dengan keluarga ayahmu. We'll be fine, I promise. Paspor, tiket dan dokumen lainnnya sudah Ibu urus. Lusa kita pergi," suara Ibu berhenti kembali. "Besok Ibu jemput kamu."

Pip.

Dengan itu suara Ibu menghilang. Kalil memejamkan matanya, di tangannya masih terdapat boneka yang akan ia berikan pada Killa. Ia tersenyum gamang, jika ia memberikan boneka ini… gadis itu hanya akan semakin sedih. Dan walau Ibu tak memberitahu, Kalil sadar ia tidak bisa menceritakan kepergiannya pada siapa pun. Jadi yang Kalil lakukan hanya lah menatap langit-langit kamarnya.

Hari berganti dengan cepat. Pagi datang tanpa Kalil sadari. Ia menghela, berdiri kemudian mengambil koper hitam di atas lemarinya. Terakhir kali Kalil menggunakannya adalah saat ia kabur dari rumah. Semalaman sudah ia memikirkan tentang ini dan jawabannya tentu saja ia harus ikut dengan Ibu. Memangnya siapa lagi yang ia punya selain malaikat tanpa sayap itu?

Kalil tak memasukkan banyak pakaian, hanya sesuatu yang menurutnya penting. Dalam koper hitam itu hanya terdapat beberapa pasang pakaian dan dokumen penting. Hanya itu. Setelah selesai Kalil menarik resleting koper dan menaruhnya di pojok kamarnya. Tiket, paspor dan dokumen lainnya berada di dalam tas kecil. Kalil siap untuk pergi. Dan hari ini dia tak masuk sekolah. Ia tidak bisa melihat wajah kecewa Killa nantinya.

Meraih ponselnya, Kalil menghubungi seseorang. "Hoi, gue denger lo butuh tempat? Gue ada nih. Oh, gue msu pergi soalnya. Tempatnya? Ada lah."

* * *

Kalil tidak datang. Kemana sebenarnya cowok itu? Killa mendengus kesal. Bahkan pesannya tak dibaca. Menyebalkan.

"Sabod deh ya sama manusia itu," putus Killa akhirnya.

Tak ada yang spesial di hari itu. Tapi entah mengapa perasaan Killa tak enak. Seakana ada yang akan pergi. Langit mendung dan perlahan rintik hujan mulai turun. Killa menghela, lupa jika ia tak membawa jaket atau payung. Kalau seperti ini ia harus menunggu di sekolah.

"La," Killa menoleh, Andre terlihat kepayahan dengan napas tersenggal. "Kalil ada kabar gak?"

Killa menggeleng, "gak, chat gue aja boro-boro di bales, di baca aja enggak."

Andre duduk di samping Killa dengan wajah kelelahan. "Sama. Tuh anak kemana ya?"

"Tau, ke neraka kali," jawab Killa asal.

Andre langsung menempeleng kepala Killa. "Kalau ngomong jangan asal, kalau beneran gimana?"

Killa malah memberengut. "Sori deh. Terus lo kesini cuma mau nanya itu doang?"

Andre menepuk tangannya ke paha. "Oh, iya, sampai lupa! Gue mau ke apartemennya nih, lo mau ikut gak?"

Terdiam lama kemudian Killa mengangguk. "Ikut deh, lo bawa mobil?"

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang