Tiga

16.8K 1.4K 71
                                    

Kalil selalu menyukai waktunya saat seorang diri. Menghabiskan waktu dengan gitar, notes, juga secangkir white coffee panas. Matanya terpejam saat jemarinya memainkan senar gitar dengan semilir angin malam yang berhembus pelan. Suara klakson, mesin mobil dan suara orang-orang berbincang terdengar oleh Kalil. Aneh, padahal dia berada di lantai dua puluh sembilan. Namun, Kalil merasa terbiasa dengan semua itu. Pendengarannya memang selalu tajam seperti biasa.

Setitik air mata terjatuh, membuat Kalil dengan cepat menghapus air matanya. Rasa sepi ini membuat dadanya sakit, terasa menyesakkan hingga rasanya ia sulit untuk bernapas. Namun begitu, ia tak boleh menjadi lemah. Kalil menghembuskan napasnya, lelah. Kemudian ia memilih menyandarkan tubuhnya, matanya memandang lurus ke depan.

"Lima tahun," lirihnya.

Ya, sudah lima tahun sejak ia tinggal sendiri. Kalil masih mengingat jelas teriakan, tangisan dan luka pada lima tahun lalu. Lima tahun dan luka dalam dirinya sendiri belum sepenuhnya sembuh. Mungkin ia memang belum dewasa, bebeda dengan kakaknya. Aslan, selalu bisa menjadi dewasa dan dapat diandalkan. Aslan selalu menjadi pengganti orang tuanya sejak ia kecil. Bahkan rasanya, Aslan lah yang selama ini menjaga dan mengurus semuanya.

Tiba-tiba, ponsel di meja kecil samping kanan Kalil berbunyi, membuat Kalil meraihnya dan segera menjawab panggilan tersebut.

"Ha? Lho, kakak? Kenapa nelfon malam-malam gini? Tumben," Kalil tak dapat menahan dengusannya kala mendengar suara Aslan di ujung sana. "Hah? Ngapain?"

Dengan terburu ia bangkit, menyebabkan gitarnya jatuh dengan bunyi gaduh. Kalil berlari menuju pintu, mengintip melalui celah dan mencibir. Dengan tampang tak suka, ia membuka pintu. "Ngapain ke sini?" Tanyanya sambil melipat kedua tangan.

Aslan menaikkan satu alisnya, kemudian menaikkan tangan kanannya, memperlihatkan tas kertad berwarna cokelat dan hitam. "Mau ngasih ini, cepet deh lo pake. Abis itu temenin gue ke pesta."

"Hah? Idih, makanya cari pacar. Gue gak mau," Kalil mendorong tas kertas yang dibawa Aslan. "Udah deh lo ke sana sendiri aja."

"Gue bakal balikin motor lo."

"Oke." Kalil dengan cepat meraih tas kertas yang dibawa Aslan kemudian membawanya ke dalam kamar. Tak sampai lima belas menit, Kalil telah keluar dari kamarnya dengan jas cokelat muda, kemeja putih dan celana putih. Sepatunya berwarna senada dengan jas yang melekat sempurna pada tubuh Kalil. Lelaki berambut hitam itu, membiarkan rambutnya terlihat acak-acakan.

"Mana kuncinya?" Kalil langsung mengadahkan tangannya di depan Aslan. "Iya nanti," Aslan dengan santai berjalan keluar dari apartemen Kalil.

Dengan wajah kesal Kalil membuat wajah aneh di belakang Aslan dan berpura-pura membuat gerakan menusuk Aslan berkali-kali. Dan saat Aslan berbalik dengan tiba-tiba, Kalil langsung berakting menepuk nyamuk di udara.

"Gak nyangka, banyak nyamuk," katanya polos kemudian berjalan mendahului Aslan menuju lift.

"Seberapa penting sih pesta ini sampai lo harus ngajak gue?" Tanya Kalil, "Lagi selama ini 'kan lo selalu pergi sendiri ke acara kaya gini."

Aslan diam sejenak. "Well, ini pesta ulang tahun perusahaan kita kalau lo lupa."

"Gue emang sengaja lupa." Kalil memutar manik matanya. "Lagi, I'm nobody, yang penting 'kan ada lo."

Aslan mendesah, tahu akan seperti ini. "Lo tahu, lo itu penting. Lagi nanti kalau gue udah gak ada gimana?"

"Apaan sih, Lan. Gue gak mau bahas ini lagi," jelas Kalil membenci topik ini.

Kalil hanya ... entahlah, dia tak bisa membayangkan di suatu masa saat Aslan pergi. Ya, ia tahu dengan benar jika suatu hari itu pasti akan datang, hanya saja, Kalil tak bisa membayangkannya. Jika Aslan pergi maka Kalil akan sepenuhnya sendirian. Benar-benar sendirian.

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang