Enam Belas

9.2K 981 23
                                    

"Jadi, apa isi suratnya?" Andre bertanya, menghentikan kebisuan di antara mereka. "You look desperate, you know?"

Kalil tak menjawab, hanya memejamkan matanya di balik lengan kanannya. "Kenapa lo ada di arena?"

"Jawan pertanyaan gue dulu, badak," Andre langsung menjitak Kalil, tanpa memperdulikan keadaan temannya yang terlihat siap mati kapan saja. "Lo lama-lama ngeselin tau gak!"

Kalil langsung terduduk, "heh! Lo itu sebagai sahabat harusnya ngehibur gue tau gak? Ini malah nambahin sakitnya."

"Tai. Gue kesel tau gak? Lo tuh kok jadi pengecut gini?" Andre menunjuk Kalil, "sahabat gue Kalil itu bahkan gak peduli mati! Sahabat gue Kalil, udah tau konsekuensinya kalau deket sama Killa tapi dia gak peduli! Jadi lo siapa?"

Kalil terdiam, ia memejamkan matanya lelah. "Gue … gak tau, Ndre, gue tau ini pengecut banget. Kalau mereka gak bawa Ibu, mungkin gue gak bakal sebingung ini."

Andre terhenyak, ia melupakan fakta itu. "Emang mereka tau apa?"

"Ibu ternyata mitra bisnis keluarga itu," Kalil berujar penuh penekanan. "Nyatanya Ibu selalu ngirim surat ke gue, sayangnya Ibu gak pernah tau kalau gue gak lagi tinggal di neraka itu. Dan surat itu selalu sampai ke tangan nenek lampir itu."

Andre kini hanya dapat menatap Kalil naas, dunia begitu sempit hingga apa pun yang berada di dekat Kalil selalu saja membuatnya sakit. Bahkan kini satu-satunya yang menjadi sandaran baginya telah pergi. Pergi ke tempat yang tak akan bisa Kalil kejar lagi. Tempat yang tak akan lagi bisa Kalil raih.

"Hape lo nyala tuh," Andre menunjuk benda pipih di atas meja.

Dengan malas Kalil meraihnya, menatap layarnya sekilas kemudian duduk dengan posisi tegak. Matanya menatap Andre dengan horor, "dia nelfon."

Dan tanpa terasa Andre menahan napasnya.

"Halo," suara Kalil terdengar dingin dan jauh.

* * *

Killa menatap rintik hujan dari jendela kelasnya. Hujan turun dengan derasnya. Hari ini seluruh guru tengah melakukan rapat, membuat seluruh kelas mendapat jam kosong. Di kelas Killa pun hanya ada beberapa orang, selebihnya berpencar entah ke kantin atau tempat lainnya di sekolah. Killa lebih memilih berdiri di depan jendela kelas dan menaruh tangannya di kaca, merasakan dingin di tangannya.

Perlahan ia memejamkan matanya, merasakan dingin yang perlahan naik dan terasa hingga dadanya. Ia mendengus tatkala merasa dadanya yang sesak. Sakit itu masih terasa walau telah beberapa minggu terlewati setelah kejadian itu.

Kalil berubah. Bahkan kini lelaki itu bertingkah seakan tak ada yang terjadi diantara keduanya. Seakan semuanya hanya lah drama yang tengah mereka lakukan. Killa menghela, satu sisi dalam dirinya menyesali semua yang terjadi. Menyesali saat-saat ia bersama Kalil. Menyesali semua yang terjadi. Namun, sisi dirinya yang lain merasa beruntung dapat bertemu Kalil.

"La," panggilan itu membuat Killa menoleh, mendapati Andre menatapnya. "Kita perlu ngomong."

Killa mengangguk mengikuti Andre yang kini berjalan di depannya. Mereka berjalan menuju koridor laboratorium yang sepi. Andre berhenti, menatap Killa dengan wajah  lelahnya.

"Bantu gue La," suara Andre terdengar lirih, bahkan hampir teredam oleh suara hujan. Ia mengusap wajahnya lelah, kemudian berjongkok. "Kalil kacau, dia lepas kendali lagi, La."

Killa memejamkan matanya, merasakan jantungnya berhenti berdetak dalam beberapa detik. "Dia … kenapa, Ndre?"

Andre memilih bersandar di lemari kaca, "tadi gue baru balik dari apartment Kalil, gue tau gak seharusnya gue ngomong masalah ini. Tapi La, gue gak tau harus minta tolong ke siapa lagi. Tolong La, bantu Kalil. Gue mohon … "

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang