Empat

16.3K 1.4K 75
                                    

Dear, zabilla I love the cover, thank you.

* * *

Killa duduk di beranda kamarnya, kedua kakinya ia peluk, perasaan saat ini bahkan tak dapat ia definisikan. Selama ini, hanya seorang Alden yang berada di dekatnya, kemudian tiba-tiba Kalil muncul. Muncul dan dengan mudahnya membuatnya berada dalam zona kalut.

Ponsel di sampingnya berbunyi, membuatnya menatap benda itu malas. "Dan seseorang nelfon di jam empat pagi. Oh, benar-benar penelfon yang sopan."

"Siapa?"

"Pacar lo."

Kemudian sambungan terputus. Ralat, diputus oleh lawan bicaranya. Killa sendiri langsung bersandar di dinding, memijat keningnya yang kini terasa sakit. Sekarang, seseorang yang dipikirkannya muncul di depannya. Tunggu Killa pasti sudah gila, tidak, ia tidak gila. Penglihatan Killa benar-benar membuatnya gila sendiri, seorang Kalil tengah berdiri di depan kamarnya. Itu berarti, tepat di tamannya.

"Mau apa lo ke sini?" Pekiknya tertahan.

Menyebalkannya, Kalil tak menjawab, malah memanjat menuju kamar Killa yang memang tak terlalu tinggi. Sementara Killa merasa ngeri, memikirkan seorang Kalil berada di kamarnya, di jam rawan seperti ini. Dan bahkan belum terdengar kokokan ayam!

"Ngapain lo ke sini?" Ulangnya.

"Ayo kita bersepeda!" Kalil mengatakannya seolah ia tak pernah menaiki sepeda. Seakan bermain sepeda adalah hal terakhir dari keinginannya dalam hidup.

"Lo belum tidur ya?" Kalil mendekatkan wajahnya, mengamati wajah Killa baik-baik. "Oh, tenang aja, gue bawa sepeda yang bisa berdua. Tuh liat."

Mau tak mau Killa melongo ke arah yang ditunjukkan oleh Kalil, menatap sepeda tandem yang bersandar di lampu jalan. "Lo seniat itu?"

Kalil mengangguk, "Ya, karena gue gak pernah setengah-setengah. Gue ini cowok romantis dengan caranya sendiri."

"Ew," Killa mengernyitkan hidungnya. "Geli banget, nah kalo lo mempersilakan, gue mau ganti baju dulu."

Kalil mengangguk, kemudian dengan mudah berpindah menuju taman rumahnya. Dengan sekali lompatan, membuat Killa terperangah.

"Lo itu semacam kodok atau apa?"

Kalil hanya tersenyum, "Whatever you say, babe."

Killa hanya memutar manik matanya, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dengan asal ia menarik celana training hitam panjang dan kaus raglan hitam putih. Kemudian ia menguncir rambutnya, menjadi kuncir kuda. Setelahnya ia baru mencuci wajahnya dan menyikat gigi.

Killa mendengus kala mendengar ponselnya berbunyi berulang kali. Pasti Kalil, pikirnya. Memasukkan ponsel dam dompetnya ke dalam tas kecil, kemudian berjalan menghampiri Kalil. Lelaki itu dengan tampang kesal, tangan terlipat dan tatapan lurus menatap Killa yang berjalan dengan santai.

"Lama banget sih babe," ujarnya saat Killa berada di dekatnya. "Cepet naik deh, nanti bisa kesiangan."

Killa menghela napas, menaiki sepeda tandem itu dengan dengusan kesal. Dia baru tidur beberapa jam dan tiba-tiba Kalil datang, membangunkan dengan paksa. Dan sekarang ia ikut menggoes sepedanya bersama Kalil. Ia menatap punggung lebar di depannya dengan senyum kecil, Kalil aneh. Berada di dekatnya walau baru mengenal sebentar telah membuatnya merasa nyaman.

"Lo sering gini?" Kalil mengangguk kecil sebagai jawaban, "Biasanya sama kakak gue."

"Pake sepeda kaya gini?" Kata Killa, tanpa menutupi keterkejutannya. Dengan susah payah ia menyamakan langkah untuk menggoes sepeda. "Sepeda nyusahin tau gak, lagi ini punya siapa sih sebenarnya?"

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang