Kalil masih ingat hari pertama ia menginjakan kaki di kediaman Tanubratja. Rumah itu terlihat besar, bahkan lebih besar dari rumah Gean --teman sekelasnya yang kaya raya--. Di pintu gerbangnya terdapat pos satpam yang menyapanya hangat. Pintu depannya terbuat dari kayu jati berkualitas yang gerendelnya terbuat dari perunggu. Di samping kanan dan kirinya terdapat sebuah pilar besar yang menyanggah bangunan megah itu. Kalau dipikir-pikir, rumah ini mirip dengan kuil Athena di Saint Seiya.
"Kalil sayang, mulai sekarang kita akan tinggal di sini ya," Ibu berlutut, sehingga tinggi keduanya kini sama.
"Kenapa?" Kalil bertanya, ia ingin tahu. Pasalnya, walau selama ini mereka tinggal di rumah kontrakan kecil yang sering bocor saat hujan, Kalil merasa nyaman. Lagi pula rumah kecilnya selalu ramai dipenuhi anak-anak seumurannya yang sering bermain kelereng atau petak umpet.
Ibu hanya mengelus puncak kepala Kalil sambil tersenyum. Dan Kalil selalu menyukai senyum Ibu, terlebih rambut panjang Ibu yang tergerai menari indah ditiup angin membuat Ibu semakin cantik. "Karena ... ayah tinggal di sini."
Mata Kalil kini membulat, "ayah?"
Ibu mengangguk masih dengan senyum yang sama. "Iya, ayah. Lagi, 'kan Kalil bilang ingin selalu berenang bukan? Di sini ada kolam renang yang besaaarrr sekali. Kalil juga bisa bersepeda di sini. Pokoknya semua kegiatan yang ingin Kalil lakukan, bisa Kalil lakukan di sini."
Mata hitamnya berbinar, "serius Bu? Boleh berenang tiap hari? Tiap hari?"
Senyuman Ibu semakin merekah, beliau mengangguk. "Tentu!"
"Kalau begitu, Kalil akan tinggal di sini," tangan kecilnya mengepal dan terangkat di udara. "Ayo Bu, kita masuk!"
Saat pintu besar itu terbuka, hal pertama yang Kalil lihat adalah seorang wanita seumuran ibunya tengah duduk di kursi roda. Kemudian matanya mendapati seorang bocah lelaki yang lebih tua darinya tengah menatapnya heran dengan Lego di tangan kanannya.
"Arisa, apa kabar?" Perempuan di kursi roda itu bertanya dengan nada ramah. "Mari masuk."
Saat Kalil mendongak, Ibu mengangguk sebagai sinyal. Saat itu, Kalil menggenggam tangan Ibu erat. Bahkan ia merasa tangannya basah karena keringat, juga karena ia benar-benar gugup. Ibu duduk di samping perempuan itu, sementara Kalil berada di samping anak lelaki dengan wajah pucat -yang masih saja memandanginya.
"Kamu siapa?" Anak lelaki berwajah pucat itu bertanya. "Mau bermain mobil-mobilan?"
Kalil menatap bocah itu tak suka, ralat, Kalil tak pernah menyukai bocah tipe seperti ini. Menurutnya sok kenal sekali. "Kalil." Balasnya singkat, walau Kalil tak menyukai bocah itu, entah mengapa ia merasa harus membalasnya.
Bocah itu mengangguk, "mau mainan?" Ia menyodorkan mobil mainan berwarna merah yang Kalil rasa pernah melihatnya di televisi. "Oh, aku Aslan."
Ingin rasanya Kalil berteriak bahwa ia tidak peduli, tapi Ibu pasti akan langsung menjitaknya. "Oke."
* * *
Kalil ingat saat usianya sembilan, tante Widia datang ke paviliunnya. Ya, dia dan Ibu memang tinggal di paviliun dekat taman juga kolam renang besar yang indah sekali. Saat itu Kalil tengah membantu Ibu membersihkan meja kaca. Dan saat itu pintu terbanting, Tante Widia dengan wajah angkuhnya berkacak pinggang.
"Arisa, perempuan murahan yang menggoda Mas Wira. Perempuan perusak rumah tangga orang lain!" Kemudian Tante Widia menyeruak masuk dan mulai menyakiti ibu. "Apa gak puas kamu ngerebut Ruben? Brengsek!"
Saat itu yang Kalil lakukan adalah berlari menerjang Tante Widia dan mendorong perempuan itu hingga terjengkal ke belakang. "Jangan nyakitin Ibu! Pergi sana! Pergi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BADASS
Teen Fiction"Gue beruntung ketemu lo." * B A D A S S * p.s: setting, plot dan lainnya masih berantakan.