Empat Belas

10.4K 942 29
                                    

Killa benci hari rabu; pertama karena hari rabu ia harus menggunakan seragam pramuka yang benar-benar bikin gerah! Kedua karena ada pelajaran ekonomi yang demi apa pun, Killa benci! Terakhir karena dendam pribadinya pada Ratu yang tiap rabu selalu masuk ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran ekonomi alasan lain kenapa Killa benci ekonomi. Kalau saja hari rabu tidak ada pelajaran geografi yang disukainya, Killa pasti memilih untuk tidak sekolah. Tapi kalau dipikir-pikir, Killa terkesan takut dan pengecut sekali, jadi Killa memilih untuk tetap berjalan menuju kelasnya.

"Hoi, muka lo gak enak banget diliat!" Kalil langsung merangkul Killa dari samping, dengan senyumannya yang biasa. "Kenapa sih?"

Killa menoleh, "bete aja sama hari rabu. Bajunya gerah, tumben lo dateng jam segini?"

Saat itu memang masih jam enam kurang lima belas, kalau Killa datang pagi karena ia ingin mengerjakan tugas. Nah, kalau Kalil ini mencurigakan. "Gue mau ketemu sama Januar, bisnis."

Mata Killa menyipit, "bisnis apaan lo? Obat ya?"

Kalil langsung terbahak mendengarnya. "Gila kali gue! Bukan lah, dia mau beli motor gue."

"Motor yang itu?" Mata Killa membulat, "kok lo jual, Lil?"

Kalil langsung mengangkat bahunya, "kemarin tiba-tiba kakak gue ngasih kunci mobil dan katanya gue harus jual motor lama gue."

Killa mengangguk mendengarnya, "gitu? Padahal gue lebih suka naik motor sih."

Sudut bibir Kalil naik, "gue juga, tapi 'kan namanya juga rejeki." Satu tangannya mengangkat untuk mengacak rambut Killa. "Oh, minggu depan, kakak gue nikah."

Killa langsung berhenti melangkah, "lo punya kakak?"

"Gue belum cerita?"

Killa menggeleng, "gak inget."

"Ya udah nanti gue ceritain, masuk gih." Killa bahkan tak sadar jika mereka telah berada di depan kelasnya. "Nanti istirahat gue ke sini lagi."

Killa masih menatap Kalil hingga lelaki itu masuk ke dalam kelasnya. "Oh, Bahasa Inggris!" Killa berseru kemudian berjalan terburu ke dalam kelasnya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Killa suka pelajaran Bahasa --apapun-- tapi sayangnya sejak kelas sepuluh, guru Bahasanya gak ada yang bener. Misalnya saat kelas sepuluh, guru Bahasanya lebih suka memberi catatan. Guru kelas sebelasnya lebih sering tidak masuk dan guru kelas dua belasnya lebih sering memberi tugas. Killa akhirnya menyerah dengan apa yang ia sukai itu. Kalau saja ia tidak suka membaca, mungkin Killa benar-benar akan membenci pelajaran Bahasa.

"La, buka mulutnya," Alden memegang sendok berisi nasi dan potongan ayam. "Buruan, nanti bel."

Kalau saja tangan Killa tidak sibuk menyalin pasti tangannya itu telah memukul kepala belakang Alden. Sedikit mendongak, Killa membuka mulutnya dan Alden langsung menyuapi Killa. Alden tahu Killa pasti belum sarapan, karena tadi pagi ia melihat Killa berangkat sekolah dengan terburu.

"Gak mau pake kentangnya Al," ucap Killa disela kunyahannya. Alden mengangguk kemudian menyisihkan kentang yang sudah dipotong kecil tadi ke pinggir. "Nih lagi," kata Alden.

"Yhm! Seleusei!" Killa berseru namun tertahan oleh makanan yang ada di mulutnya.

"Dasar bego," Alden mencibir. Ketika Killa membuka mulut untuk membalas, lelaki itu langsung memasukkan sendok terakhir ke mulut Killa dan langsung tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu. "Anjir komuknya!" Alden bahkan sampai memukul pahanya.

Killa langsung memberengut, "rease louh!"

"Kunyah ae dulu baru ngomong," Alden kemudian beranjak dari duduknya menuju bangkunya yang berada di paling pojok belakang. Mereka memang tidak duduk bersama, karena Killa dan Alden memiliki tinggi badan yang berbeda. Di kelas mereka memang begitu, tiap anak duduk berdasarkan tinggi badannya karena menurut wali kelas mereka, anak-anak yang tidak tinggi tidak perlu terhalang oleh anak yang tubuhnya menjulang.

Saat Killa hendak membuka mulut untuk membalas perkataan Alden, bel berbunyi membuat ia langsung memberengut lagi. Menyebalkan!

* * *

"Mari kita ke kantin," Andre menepuk bahu Kalil sambil tersenyum bodoh --jenis cengiran lebar khas Andre.

Kalil menghela, "oke tadi kita emang abis belajar Bahasa tapi, gak harus baku juga 'kan ngomongnya?"

Andre berdecak, "Kalil sahabatku, jika kita tak melestarikan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari siapa lagi?"

"Guru Bahasa lah."

"Tidak anak muda!" Andre menaruh jari telunjuknya di depan wajah Kalil. "Kita harus ... ah, udah lah gue capek."

Kalil menggeleng, sudah tahu ini pasti akan terjadi. Andre memang begitu, mudah bosan. Keduanya berjalan menuju kantin sambil berbincang seru tentang bola, memangnya apa lagi?

"Nah tuh, Killa!" Andre menunjuk tempat yang berada di dekat pintu. Seperti biasa Killa bersama dengan Alden, bahkan keduanya tak segan untuk saling suap-menyuapi. Kalil mendengus, bahkan Kalil tak pernah diperlakukan seperti itu.

"I smell jealousy," Andre menutup hidungnya. "Gosh, lo cemburu sampe muka lo kaya hulk tau gak?"

Kalil menatap Andre kesal, "udah beliin gue nasi goreng sama es jeruk aja sono!" Kalil mengeluarkan lembaran uang dan mendorong Andre untuk pergi. Andre hanya mengendikkan bahunya dan berjalan menjauh.

"Hoi!" Kalil menyeruak di antara Killa dan Alden.

"Hei Lil," Killa tersenyum sedangkan Alden yang sibuk dengan mie ayamnya hanya mengangkat tangannya sebagai sapaan.

"Jadi mau ngomong apa?" Killa langsung bertanya.

"Gue punya kakak, cowok, namanya Aslan dan dia bakal nikah minggu depan. Lo mau 'kan nemenin gue?" Kalil menatap Killa langsung ke matanya.

Pipi Killa terasa panas, kemudian pipinya memerah. "Eh, boleh."

Kalil tersenyum, "ya udah gue mau ngomong itu aja. Gue ke sana ya?" Kalil pamit dan langsung menghampiri Andre.

"Lil, ada yang pengen gue tanya deh." Arka mendongak, "kok lo sama Killa bisa jadian sih?"

Kalil memutar manik matanya, "penting banget gak sih?"

"Yeu, gue tanya, nyet."

"Lo nanyanya itu mulu," Kalil memutar manik matanya. "Lo suka Killa?"

Arka memutar manik matanya, "gak lah. Dikata gue bingung aja lo bisa jadian sama Killa."

"Awalnya iseng," jawab Kalil asal. "Tapi 'kan sayang kalau cuma diisengin."

"Pantesan," sahut Andre. "Lo 'kan biasanya gak suka gercep kalo soal cewek. Eh, gimana sih? Maksud gue lo 'kan biasanya bodo amatan ke cewek, eh tiba-tiba pas ada Killa ini langsung ngegas."

"Duh gue terharu Ndre lo segitu perhatiannya sama gue," Kalil mengedipkan matanya berberapa kali --jenis mata genit--. "Emang deh lo yang de best. Kalo lo cewek nih Ndre udah gue jadiin istri kali."

"Idih! Ya Allah, sadarkan Kalil!" Andre langsung beranjak dari bangkunya dan memilih duduk di samping Arka.

"Ka, jangan rebut Andre Ka!" Kalil berteriak heboh, membuat beberapa pasang mata menatap mereka geli.

Arka langsung memeluk Andre dan mengusap puncak kepalanya penuh rasa sayang. "Sorey, Andre punya gue, Lil."

"Idih! Jijik! Lepasin gue oy, lepasin!" Andre bergerak-gerak heboh namun Arka dengan sengaja malah memeluk Andre lebih kuat. "Aduh sayangku ini diem dong!"

Dan Kalil tertawa semakin kencang, terlebih melihat wajah Andre yang tersiksa. Bagi Kalil, penderitaan sahabatnya adalah kebahagian baginya. Jahat? Tapi itu yang paling membahagiakan.

* * *

Ew, its not good. Sorry for this crap!
Salam,
-Ritonella.

BADASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang