Chapter 9

838 19 0
                                    

Author's Note:
Bakal jarang update karena tugas skolah, mohon dimaklumi ya :D
Happy reading xoxo

*Travis' POV*

Aku melihatnya. Aku sedang mengobrol bersama temanku dan dengan tidak sengaja, aku melihatnya. Dia sedang menatapku. Entah sudah berapa lama dia seperti itu. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Aku adalah lelaki yang suka wanita berpostur tinggi dan lemah lembut. Orang yang mendengar bagaimana kriteriaku pasti akan menertawakanku. Mungkin itu terlalu sempurna. Tapi tidak ada salahnya bermimpi bukan? Dan Stella jauh dari kriteriaku. Walaupun dia tinggi, dia terlihat lebih ceria dan tidak menjaga penampilan atau image nya. Dia cukup menarik.

Stella menyadari aku memergokinya sedang menatapku dan dengan segera dia kembali memfokuskan diri ke teman-temannya yang sudah melihat dia dengan tatapan sinis. Dia terlihat bingung. Aku seperti mendengar Cindy berkata untuk jangan menatap dia terus. Aku tahu maksud dari 'dia' adalah aku. Aku tertawa mendengar kata-katanya dan reaksi Stella. Dengan tidak sengaja, matanya bertemu mataku. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dipikiranku. Mungkin saja ini bisa membantuku berkomunikasi dengannya diluar Messenger. Jujur saja, aku dan Stella tidak pernah berbicara atau bahkan tersenyum dengan satu sama lain meskipun kami sering mengirim pesan. Aku merasa itu sedikit aneh tetapi sepertinya Stella suka hal itu.

"Hai", aku menghampirinya. Dia terlihat pucat dan kaku. Aku tidak tahu apa penyebab dia tiba-tiba menjadi seperti ini. Oh, aku ingin sekali mengurungkan niatku karena dia tidak meresponku sama sekali. Tapi aku sudah sampai di depannya, jadi mau tidak mau, sebagai lelaki yang gentleman aku harus melanjutkan ini. Aku melihat Ivy dan Cindy yang sudah perlahan mundur dan meninggalkan aku dan Stella berdua. Aku menjentikkan jari di depan wajahnya untuk menyadarkan dia dari lamunannya. Dia tersentak dan berjalan mundur sedikit. "Ada apa?", katanya dengan tatapan kosong. "Umm, kau tinggal di seberang jalan bukan?", tanyaku dengan nada hati-hati. "Andrew yang memberitahuku", lanjutku karena aku takut dia mengiraku seorang penguntit. Dia tertawa mendengar nama Andrew. Aku hanya tersenyum meliat reaksinya itu. "Memang, lalu kenapa?", tanyanya. Suaranya sudah menunjukkan rasa percaya diri dan ketakutan yang tadi ada dalam dirinya sepertinya sudah hilang. "Umm, begini. Tadi pagi aku telat ke sekolah sehingga aku tidak mendapatkan tempat parkir. Kemudian ada seorang petugas yang menawariku untuk parkir di seberang jalan sana. Lalu tadi aku berpikir untuk mengajakmu pulang bersama sehabis sekolah nanti. Maksudku kau pulang kerumahmu dan aku ke mobilku. Bagaimana?", jelasku. Dia tampak mempertimbangkannya. "Baiklah", jawabnya kemudian. Saat itu juga bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah selesai dan semua murid harus kembali ke kelasnya masing-masing. "Sampai jumpa", kataku sambil tersenyum. Dia membalas senyumku dan berkata, "ya, sampai nanti". Aku pun menghela napas yang daritadi kutahan.

***

*Stella's POV*

"Apa katanya tadi?", tanya Cindy. Kami sedang berada di kelas dan 10 menit lagi bel pulang akan berbunyi. Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tanganku. Kenapa waktu hari ini sangat lama berlalu? "Ayolah, beritahu aku", paksa Cindy. "Tidak apa-apa, dia hanya mengusulkan agar kita pulang sama-sama. Dia memarkir mobilnya disana", jelasku dengan nada acuh tak acuh. "Apa!?", pekik Cindy. Semua mata tertuju padanya. Dengan segera aku mendekap mulutnya itu. "Bisakah kau tidak berteriak", bisikku. "Astaga, maaf maaf. Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu terkejut", jelasnya. Aku menatapnya sinis. "Apa.. mungkin dia menyukaimu?", kata Cindy kepada dia sendiri. "Apa-apaan itu? Kau selalu berpikir yang aneh-aneh. Tidak mungkin", kataku dengan nada datar. Cindy pasti tahu aku juga mengharapkan hal itu terjadi karena kemudian dia berkata, "bukankah itu hal bagus? Setidaknya kau bisa melupakan Marvin". Marvin. Aku sudah lama tidak mendengar nama itu. Aku bisa merasakan aliran darahku mengalir lebih cepat. Sudah berapa lama aku tidak melihatnya? Pasti sudah lama sekali. Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Beribu pertanyaan menyerbu pikiranku ketika mendengar namanya. Aku tersadar dari lamunanku ketika bel berbunyi. Cindy tampaknya sudah melupakan pembicaraan kita tadi tapi aku tidak. Sekarang aku pun masih tidak mengerti dengan perasaanku. Kalau disuruh memilih, aku tidak tahu harus memilih siapa. Marvin atau Travis. Keduanya memiliki hal yang berbeda dalam diri mereka masing-masing.

Tanpa disadari aku sudah berada di depan kelas Ivy. Gurunya masih berada di dalam kelas sehingga aku tidak berani masuk seenaknya. "Masuk saja, tidak apa-apa", kata Carissa yang entah datang darimana. "Aku dengar kau dan Travis sedang dekat. Benarkah itu?", tanyanya. "Hah? Siapa bilang? Kami.. kami hanya berteman", jelasku. "Benarkah? Oh, baiklah. Kalau kau tidak mau, mungkin Karen mau dengannya", Carissa terdengar kecewa. Namun saat dia menyebutkan Karen sepertinya dia mencoba memberiku peringatan. Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya itu lalu masuk ke kelas mereka. Travis sedang mengemas barangnya yang berserakan di meja. Anak laki-laki memang selalu tidak rapi. "Hai", kata Ivy. Mungkin mengucapkan hai sudah menjadi kebiasaan kita meskipun kita bertemu lebih dari dua kali sehari. "Hai", balasku. "Cindy mana?", tanya Ivy. Aku melihat sekeliling dan tidak menemukan Cindy. Dia memang suka sekali menghilang tanpa sepengetahuanku. "Mungkin ke kamar mandi", kataku. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh dan mendapati Andrew sedang tersenyum lebar. "Jadi kalian akan pulang bersama?", tanyanya meledek. Ivy melihatku seakan tidak percaya. Aku lupa kalau dia tidak tahu soal hal ini. "Ya. Memangnya kenapa? Lagian kau yang memberitahunya alamatku", kataku. "Aku hanya berniat membantu", balas Andrew. "Membantu apa? Aku tidak menyukainya", kataku dengan nada setenang mungkin. "Oh ayolah, semua orang tahu dari gerak-gerikmu bahwa kau menyukai Travis", jelasnya sambil menunjuk seisi kelas yang sudah hampir kosong. "Apa kau serius? Astaga, harus kuletakkan dimana wajahku ini", kataku sambil menutup wajahku dengan kedua tangan. Saat aku melepaskan tanganku dari wajah, kudapati Travis sudah berdiri dibelakang Andrew. "Tenang saja. Mungkin Travis tidak tahu kau juga menyukainya", jawab Andrew. Andrew sialan. Travis berpura-pura batuk dibelakang Andrew dan Andrew langsung berdiri kaku dan menutup matanya. "Tolong geser sedikit. Aku mau berbicara dengan Stella", kata Travis yang membuat Andrew spontan bergeser. Aku bisa merasakan wajahku menjadi panas. "Sudah siap?", tanya Travis padaku. Aku melirik Ivy yang sedang melihatku dan Andrew yang terus mengatakan maaf kepadaku tanpa bersuara. Cindy tiba-tiba datang dan berkata, "ayo pulang". Ivy langsung berjalan melewatiku dan menggandeng Cindy kemudian berjalan keluar kelas. Sebelum benar-benar keluar, dia berbalik melihatku dan mengedipkan sebelah mata kepadaku. "Baiklah", kataku kepada Travis. Kemudian kita berdua keluar ditemani ledekan Andrew dan yang lainnya.

Vote dan comment yaa! :d

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang