Chapter 15

515 15 0
                                    

Happy reading! :D Sorry lama update yaa, baru sakit sembuh nihh

*Stella's POV*

Aku menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang berada disana. Ada juga pasangan yang sedang bermesraan di sudut ruangan kelas seperti biasanya. Tadi aku membersihkan kelas karena memang hari ini jadwalku untuk piket kebersihan sehingga aku baru bisa pulang sekarang. Aku berjalan menuju gerbang belakang sekolah yang sudah setengah tertutup karena jarang sekali ada yang mau lewat gerbang belakang. Kebanyakan lebih memilih gerbang depan sekolah karena suasana yang lebih ramai dan tidak mencekam. Namun bagiku, gerbang itu tidak mencekam atau menakutkan sama sekali. Setelah keluar, aku mencari-cari mobil Travis dan menemukannya. Aku berjalan menuju mobil itu dan mesinnya menyala. Artinya, Travis ada di dalam. Namun karena kaca mobil yang sangat gelap, aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya di dalam. Aku mencoba menarik gagang pintu depan mobilnya dan terbuka. Mungkin memang Travis sengaja untuk tidak mengunci mobilnya dari dalam. Aku melihat Travis sedang sibuk menelepon. Dia memberikanku isyarat untuk masuk ke mobilnya.

"Ya, baiklah. Kurang lebih satu jam lagi", kata Travis lalu menutup teleponnya. Ia menghela napas panjang lalu menatapku. "Ada apa?", tanyaku membuka pembicaraan. "Kau masih marah padaku?", tanyanya dengan hati-hati. "Menurutmu? Apa aku sudah bilang aku memaafkanmu? Apakah kamu pikir dengan memberiku bunga kau bisa bebas dari kesalahanmu begitu saja?", kataku dengan nada datar. "Tapi aku tidak tau apa salahku", kata Travis dengan nada sedikit memohon. Melihatnya membuatku semakin frustasi. Dia bahkan tidak tahu dimana kesalahannya dan tidak merasa bersalah sama sekali. Aku tidak menjawabnya dan hanya menatap langit yang sudah mulai gelap.

"Sebentar lagi akan hujan. Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan lagi, aku mau pulang", kataku lalu berniat membuka pintu mobilnya ketika Travis menghentikanku. "Stella...", katanya dengan suara lirih. Tatapannya kosong. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. "Apa?", tanyaku dengan nada semarah mungkin. Aku tidak ingin dia tahu aku telah memaafkannya. Aku ingin melihat seberapa jauh usaha Travis. "Bisakah kau memberi tahuku apa salahku? Dan tolong jangan menggigit bibirmu seperti itu", kata Travis. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan raut mukanya tampak lelah. Suaranya pun tak bersemangat lagi.

"Kenapa kau tidak mau memberitahuku? Bagaimana aku bisa tau kalau aku salah apa?", lanjutnya dengan nada kesal. "Seharusnya kau menyadari kesalahanmu tanpa aku ingatkan! Kau menciumku lalu kau mengatakan bahwa itu tidak disengaja, kau anggap apa aku ini? Kau kira kau bisa menciumku sembarangan dan mengatakan bahwa itu kesalahan? Kau telah mencuri ciuman pertamaku! Dan kau bahkan menyesal dan tidak berniat melakukannya!", amarah yang sedari tadi kupendam kini kukeluarkan. Travis menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Stella", katanya kemudian. "Sudah kubilang jangan menggigit bibirmu seperti itu", kata Travis yang membuatku menyadari aku sedang menggigit bibirku. Aku bahkan tidak menyadari hal itu. "Memangnya kenapa?", tanyaku bingung. Travis menghela napas panjang. Ia menatap setir mobil dengan tatapan kosong seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu. Lalu tiba-tiba ia berkata, "kau tahu, waktu itu bukanlah kesalahan. Aku memang tidak berniat mencium dirimu saat itu. Tetapi bukan karena aku tidak mau. Aku takut bahwa kau akan berpikir aku bukanlah pria baik-baik. Dan aku tidak pernah menyesali hal itu. Aku hanya mencoba menghibur dirimu dan agar kau tidak menganggapku yang tidak-tidak saat itu. Tapi kurasa kau salah menanggapinya".

"Dan hentikan hal itu sekarang juga atau aku akan menciummu untuk kedua kalinya", katanya sambil menunjuk bibirku. Seketika aku menyadari bahwa lagi-lagi aku menggigit bibirku. Ada apa dengan bibirku hari ini. Sejak kapan aku punya kebiasaan seperti itu. Aku tidak mendengar perkataan Travis dengan jelas karena aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Kemudian tiba-tiba Travis menatapku dengan tatapan kesal. "Ada apa?", tanyaku.

Ia mendekap wajahku dengan kedua tangannya lalu mendaratkan sebuah ciuman tepat di bibirku. Hal itu jelas membuatku kaget dan terpaku di tempat. Travis menggigit bibir bawahku yang membuatku membuka mulutku. Aku sering membaca ataupun menonton hal seperti ini. Tapi aku tidak pernah melakukannya secara langsung. Melihat Travis yang begitu serius aku pun mengikuti kemauannya. Lidah kami bersentuhan dan rasanya ada seribu satu kupu-kupu terjebak di tenggorokanku. Aku mulai kehabisan napas dan kurasa Travis juga karena ia melepaskan ciumannya dan bernapas tersengal-sengal.

"Maukah kau menjadi pacarku?", tanya Travis yang membuatku kaget. "Kau tidak mau ya? Tapi kau menciumku balik tadi", ledeknya. "Apa-apaan kau ini!", kataku sambil memukul lengannya. Travis pura-pura merasa kesakitan. "Apakah kau yakin ini ciuman pertamamu?", tanyanya dengan nada cukup serius. Tapi bisa kulihat sebuah senyum di wajahnya. Aku bisa merasakan wajahku yang semakin panas dan pasti merah karena Travis sekarang sudah tertawa melihatku. "Baiklah-baiklah, aku percaya", katanya lalu membelai kepalaku.

"Umm, a-aku harus pulang", kataku dengan gugup. Hal yang baru saja terjadi tadi sangatlah memalukan bagiku. Travis menatapku dengan tatapan yang tidak dapat ku mengerti. "Baiklah, aku antar kau pulang", katanya kemudian. "Tidak usah, aku bisa jalan sendiri", kataku karena tidak ingin berlama-lama dengannya di mobil. "Hey, jangan menghindariku", katanya. "Untuk apa aku harus menghindarimu?", kataku pura-pura tidak tahu. "Tentu saja karena hal tadi. Kau kira aku tak tahu apa yang dipikiranmu? Lagian sudah mau hujan. Kau tentu tidak mau basah kuyup sesampai di rumah", katanya yang membuatku melihat ke langit yang sudah mulai ditutupi awan gelap. "Baiklah", kataku akhirnya menyerah. Travis tersenyum lebar. Dia terlihat tampan dengan senyum itu.

"Jangan melihatku seperti itu. Aku tidak bisa konsentrasi menyetir", kata Travis sambil fokus pada jalanan. Aku kembali memfokuskan pandanganku ke gedung-gedung yang kami lewati karena sudah tertangkap basah melihatnya seperti itu. "Kenapa kau lambat sekali?", tanyaku karena memang Travis menyetir luar biasa lambat hari ini dibandingkan waktu itu. "Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamamu. Tetapi sayang sekali, rumahmu sudah dekat", jelasnya sambil menghela napas panjang. "Rumahku memang selalu dekat dari sekolah", kataku.

"Baiklah, sudah sampai", katanya sambil menatapku. Tangannya yang satu masih memegang setir mobil. Aku tersenyum dan mengatakan sampai jumpa lalu keluar dari mobil. "Hati-hati di jalan", kataku. "Sampai jumpa besok", katanya sebelum aku menutup pintu mobil penumpangnya.

Hari ini hari yang cukup indah bagiku.

Jangan lupa vote dan comment yaa thankyouu!

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang