Chapter 10

775 24 1
                                    

Happy reading :D

*Stella's POV*

"Jadi... kau menyukaiku?", tanya Travis membuka pembicaraan. Kami sedang menyusuri koridor sekolah. Nadanya terdengar mengejek. Jelas-jelas dia mendengar obrolanku dengan Andrew tadi. "Teruslah bermimpi", balasku. Dia tertawa lalu memasukkan tangan kirinya ke saku celana. Kami berjalan dalam diam. Aku tidak berani memulai percakapan. Pikiranku terlalu sibuk dengan semua keadaan ini sampai-sampai aku tidak tersadar kalau kami sudah keluar dari gerbang sekolah. Travis melirikku sebentar. "Ada apa?", tanyaku. "Tidak apa-apa", balasnya dengan nada ragu. Tiba-tiba dia menarik tanganku. Aku merasakan jantungku berdetak dengan cepat. Aku terpaku di tempat. "Ayo", katanya. "Tanganmu..", kataku dengan suara kecil. Suaraku sudah hilang ditelan bumi. "Aku takut kau tidak bisa mengikutiku menyebrang, jangan pikir yang aneh-aneh. Kalau kau kenapa-kenapa, aku yang harus bertanggung jawab", jelasnya. "Y-ya, baiklah", kataku kemudian. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini seumur hidupku. Bahkan Marvin pun tidak pernah melakukan ini padaku. Seorang Marvin pasti hanya menyebrang sendiri dan berharap aku berinisiatif untuk mengikutinya dari belakang. Aku memang bukan tipe wanita manja. Tapi apa salahnya menjadi manja selagi kau bisa? Karena pasti ada saatnya kau harus menjadi wanita mandiri. Tetapi mungkin sekarang bukan saatnya bagiku untuk menjadi pacar yang mandiri.

Aku menyadari genggaman Travis yang sudah lepas dari tanganku. Entah mengapa aku berharap dia bisa menggenggamnya lebih lama lagi. Astaga apa-apaan kau Stella. "Kudengar kau cukup pintar di kelas", katanya membuka pembicaraan. "Siapa bilang?" "Temanku sekelas denganmu, tentu saja aku tahu", katanya. Aku mengangguk mengerti dan tidak melanjutkan percakapan itu lagi. "Kau sangat pendiam", Travis mendengus. "Aku dengar dari Andrew bahwa kau orangnya pendiam dan agak sombong, awalnya aku tidak percaya, tapi setelah berhadapan langsung denganmu aku percaya", jelasnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Memang benar sudah banyak orang yang menyebutku sombong. Tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Aku hanya merasa tidak nyaman berbicara dengan seseorang yang tidak kukenal baik dan aku juga tidak pandai dalam menyambung pembicaraan. "Aku pernah suka seorang kakak kelas, dia tampan sekali, dan sepertinya dia juga menyukaiku. Kami dekat untuk waktu yang cukup lama tapu kemudian dia memutuskan untuk berhenti mencariku karena katanya aku seperti tidak berniat mengobrol dengannya. Dia juga tidak percaya aku menyukainya. Dia memilih menyerah. Aku sebenarnya sedih mendengar hal itu, tapi aku sadar memang aku sedikit pendiam. Bukannya tidak mau mengobrol. Aku hanya tidak tahu apa yang harus kubicarakan", jelasku padanya. Travis tersenyum melihatku. "Kau baru saja berbicara kepadaku. Kalimatmu cukup panjang. Apakah itu sebuah kemajuan?", katanya. Aku tidak menyadari aku berbicara panjang lebar dengan lelaki satu ini. Tetapi aku merasa nyaman berada di dekatnya. Walaupun jantungku masih berdebar dengan cepat tapi aku masih bisa menjaga suaraku agar tetap terdengar olehnya. "Baiklah, sudah sampai", katanya begitu kami sampai dirumahku. "Terima kasih", kataku tersenyum. "Tidak usah sungkan, sampai jumpa", katanya lalu pergi setelah menungguku masuk. Hari ini hari yang indah bukan?

***

"Tugas apa?", tanyaku pada Ivy yang sedang sibuk mengerjakan tugasnya. Aku sedang berada di kelasnya bersama Cindy dan seharusnya aku sudah dalam perjalanan pulangku sekarang. Tetapi Ivy malah tidak mau berhenti mengerjakan tugasnya itu. Untung saja aku tidak masuk IPA.
"Tugas fisika, banyak sekali. Aku harus menyelesaikan 3 buku dalam waktu 2 hari. Apa-apaan ini", omel Ivy. Aku hanya tertawa melihatnya.

"Hai", suara Travis terdengar di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Travis tersenyum manis padaku. Oh, senyum itu. "Hai", balasku dengan senang. "Belum pulang?", tanyanya. "Belum, Ivy masih mau mengerjakan tugasnya disini", jelasku. "Oh, tugas fisika yang menyebalkan itu pasti. Kau tahu? Aku jauh lebih menderita daripada dia. Aku harus mengerjakan 5 buku karena waktu itu aku tidak datang dan melewatkan tugasnya", katanya dengan nada putus asa. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. "Andai saja waktu itu aku memilih IPS", sambungnya. "Bukankah kau masih bisa memilih? Kita baru beberapa bulan sekolah, jadi kurasa kau masih bisa mengganti jurusan", usulku. "Aku berencana masuk ke jurusan IPS pas kelas 2 nanti. Semoga saja diterima. Tapi sekarang aku harus fokus dengan tugas fisika ku ini. Seandainya saja aku bisa meminta tolong Steven untuk membantu", katanya. "Bagaimana kalau kubantu? Aku belum ada tugas yang berat", usulku. Entah kenapa aku menanyakan hal itu. Seharusnya aku menanyakan hal ini pada Ivy temanku, daripada Travis. "Benarkah? Kau mau membantuku?", tanyanya tidak percaya. "Ya, tapi hanya 2 buku. Aku juga perlu bersantai di rumah", kataku. "Ah, aku jadi tidak enak. Tidak usah, aku bisa kerjakan sendiri", katanya. Ada rasa bersalah dalam nadanya itu. "Astaga, tidak usah sungkan. Aku memang berniat membantu. Begini saja, bagaimana kalau kau mentraktirku sehabis ujian selesai? Kau sudah menerima ajakan Andrew belum? Kita semua berencana pergi menonton untuk refreshing. Kau bisa ikut kalau kau mau", jelasku. "Ya, aku sudah mendengarnya dari Andrew. Kalian hanya ingin menjadikanku sebagai supir kalian bukan? Aku tahu itu. Tapi baiklah. Aku akan mentraktirmu. Terima kasih sudah mau membantu", katanya sambil tersenyum. "Baiklah, kemarikan bukumu", aku mengulurkan tangan. Travis menjelaskan padaku apa yang harus kulakukan. Mungkin aku akan tidur larut hari ini melihat betapa banyaknya tugas yang diberikan guru mereka. "Kau sanggup?", tanyanya ragu. Sekali lagi, tidak pernah ada orang yang mengkhawatirkan aku seperti itu. Biasanya saat aku berniat membantu mereka menerima bantuanku dengan senang hati dan bahkan tidak peduli apakah aku sanggup melakukannya atau tidak. Bukannya aku ingin dipedulikan, tapi dimana rasa kemanusiaan orang-orang jaman sekarang ini. Aku mendengus kesal. "Baiklah, kalau begitu kau cukup mengerjakan 1 buku saja", katanya setelah mendengarku mendengus. "Tidak, tidak. Aku sanggup mengerjakan 2 buku itu. Lusa kan deadline nya? Pasti bisa selesai", kataku kemudian. "Terima kasih", katanya untuk kesekian kalinya. Aku tersenyum saja. "Ngomong-ngomong, kau tidak pendiam hari ini. Kau juga tidak sombong. Malahan kau seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk membantuku", katanya memujiku. "Malaikat tidak akan menyuruhmu mentraktir", balasku. "Baiklah, aku sudah harus pulang. Sampai jumpa", kataku berjalan pergi sambil melambaikan tanganku. Tangan kanannya yang tidak dimasukkannya ke dalam saku celana membalas lambaianku. Aku berjalan pulang dengan bahagia. Aku tidak peduli walau aku harus membantunya mengerjakan tugas. Melihat dia tersenyum, apalagi untukku, merupakan hal yang sangat membahagiakan. Mungkin aku akan bermimpi indah malam ini. Karena aku menyukai Travis. Dan mungkin saja dia menyukaiku juga.

Vote dan comment ya guys! :D

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang