Chapter 12

562 15 0
                                    

Happy reading! Xoxo <3

*Stella's POV*

"Aku masih belum tahu", kataku pada mereka. Kami sedang duduk di kelas Ivy membahas soal kapan kita akan pergi menonton bersama. Andrew, Steven, Christopher, Travis, Ivy, Cindy, dan Christie sudah pasti bisa pada hari minggu depan. Hanya aku yang belum. Alasannya karena belum tentu orangtuaku mau mengantarku. Mereka paling malas kalau urusan mengantar-jemput anaknya sendiri.

"Jangan belum tahu, nanti pasti tidak jadi", kata Ivy kesal. "Tidak ada yang mau mengantarku, kau juga tidak mau", kataku. "Rumahmu yang itu jauh sekali, dan itu beda arah. Bisa-bisa aku duduk di mobil sampai berjam-jam", jelasnya. Biasanya Ivy yang menjemputku, tetapi hari Sabtu dan Minggu aku tinggal di rumahku yang lama. Rumah yang dekat dengan sekolah itu rumah baruku. Orangtuaku baru saja menbelinya beberapa bulan yang lalu.

"Dimana rumahmu?", tiba-tiba Travis bertanya. Semua orang langsung fokus padanya. Apa maksudnya? Dia berniat mengantarku? "Kenapa?", tanyaku. "Kalau rumahmu dekat aku bisa menjemputmu", jelasnya. Aku bisa melihat melalui sudut mataku bahwa Ivy dan Cindy sudah saling tersenyum satu sama lain. Andrew hanya melihat ke Christopher dengan tatapan aku-tahu-kau-juga-tahu-apa-yang-kutahu. Aku merasakan pipiku memanas. Untung saja lampu kelas ini tidak begitu terang. Aku menyebutkan alamat rumahku dan Travis hanya mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan menjemputmu", katanya kemudian. Dia melontarkan senyum ramah kepadaku. Apakah dia bahagia bisa menjemputku? Oh Stella, jangan berpikir terlalu jauh. "Kau yakin?", kataku kemudian. "Kenapa tidak?", tanyanya bingung. Sepertinya ini bukan pertama kalinya dia menjemput seorang teman wanita untuk menonton. "Tidak apa-apa. Terima kasih", kataku kemudian. "Sama-sama", Travis tersenyum membalasku. Rasanya aku ingin pingsan saja.

***

*Travis' POV*

Kami sedang membahas kapan kami akan pergi menonton. Andrew mengajakku dengan alasan Stella pasti ikut. Tentu saja aku mau. Lagian aku sudah lama tidak pergi menonton. Sekalian untuk refreshing dari tugas-tugasku yang sudah menumpuk. "Baiklah, aku akan ikut", kataku pada Andrew. Aku pun bergabung dengan mereka yang sudah duduk di meja membahas rencana itu. Ivy dan Stella sedang berdebat tentang hal yang tidak kutahu karena aku baru sampai disini.
"Aku masih belum tahu", kata Stella dengan nada lelah. Dia kelihatannya cukup frustasi. "Jangan belum tahu, nanti pasti tidak jadi", omel Ivy. Sepertinya Stella tidak bisa ikut. Kalau begitu untuk apa aku ikut?

"Tidak ada yang mau mengantarku, kau juga tidak mau", alasan Stella. Oh, jadi itu sebabnya. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dipikiranku. Kalau Stella tidak ikut, untuk apa aku ikut. Tujuan utamaku adalah untuk bisa lebih dekat dengan Stella. Jadi kuputuskan untuk memberanikan diriku.

"Dimana rumahmu?", tanyaku yang membuat keheningan. Aku bingung kenapa semua orang menjadi diam. "Kenapa?", tanya Stella dengan nada tidak berminat. Aku tidak suka itu. "Kalau rumahmu dekat aku bisa menjemputmu", jelasku. Tiba-tiba saja wajah Stella memerah. Apa dia malu karena aku? Kenapa begitu? Benarkah dia menyukaiku? Pikiranku sudah entah kemana. Tapi aku pasti akan bahagia bila itu benar. "Baiklah, aku akan menjemputmu", kataku setelah dia memberitahuku alamatnya. Sebenarnya rumah Stella tidak dekat dengan rumahku. Tapi aku ingin tahu dimana rumahnya dan juga ini satu-satunya kesempatan untuk bisa berdua dengan Stella. Aku pasti akan berusaha menggunakan waktuku sebaik-baiknya untuk mengenal dia lebih dalam nanti.

"Kau yakin?", katanya kemudian. "Kenapa tidak?", aku bingung kenapa ia menanyakan hal itu. Tentu saja aku tidak keberatan. Tetapi mungkin saja aku akan merasa gugup karena ini pertama kalinya aku menjemput wanita dari rumahnya. Aku bahkan tidak pernah menjemput Claudya karena dia selalu memberiku alasan agar aku tidak menjemputnya. Kemudian Stella mengucapkan terima kasih dan tidak seorang pun tahu betapa bahagianya aku saat itu.

***

*Stella's POV*

Eyeliner, check.
Mascara, check.
Blush-on, check.
Lipstick, check.

Aku sedang merias wajahku karena 10 menit lagi Travis akan sampai. Hari ini kami akan menonton. Aku memakai baju lengan panjang dan jeans karena aku tidak ingin mati kedinginan saat menonton nanti. Aku mencatok rambutku menjadi agak bergelombang dan kugerai begitu saja.

"Stella, temanmu sudah datang", teriak ibuku dari luar kamar. Aku bisa merasakan jantungku sudah berdegup dengan kencang. Lututku terasa lemas dan tiba-tiba saja aku tidak berniat pergi. Tetapi itu hal yang tidak mungkin. Travis sudah sampai disini dan aku tidak mau dia berpikir bahwa aku aneh.
Aku biasanya tidak berdandan sampai seperti ini ketika keluar dengan teman-temanku. Hanya karena Travis-lah aku berdandan. Aku tidak mau dia melihatku jelek seperti biasanya di sekolah. Ibuku mengetuk pintuku dengan tidak sabar untuk yang kesekian kalinya. "Sebentar", teriakku sambil memeriksa penampilanku di kaca terakhir kalinya.
"Kenapa kau lama sekali? Kasian temanmu sudah menunggu di ruang tamu. Ngomong-ngomong, apakah dia pacarmu? Dia cukup tampan. Dia juga sopan. Aku menyukai anak baik sepertinya", kata ibuku. "Astaga, bu. Kenapa dia bisa masuk kerumah? Dan dia bukan pacarku. Dia hanya seorang teman. Namanya Travis. Kalau kau menyukainya, pacari saja dia", kataku. "Jangan kesal begitu. Aku hanya bertanya", kata ibuku. Aku tidak berniat melanjutkan percakapan ini lagi. Tapi aku bingung untuk apa Travis masuk ke rumah. Bukannya dia bisa menunggu di mobil saja?

Aku berjalan menuju ruang tamu dan aku melihat Travis sedang duduk sambil menatap lantai dengan tatapan kosong.
"Hai", sapaku menyadarkan ia dari lamunannya. Travis langsung tersenyum ramah menyapaku. "Hai", balasnya. Aku tidak menyadari ibuku yang sedari tadi mengikutiku dari belakang sampai Travis mengatakan, "Kalau begitu kami pergi dulu, tante. Saya pinjam Stella sebentar. Terima kasih", lalu membungkuk sedikit untuk memberi pamitan. Ibuku terlihat sangat senang seakan-akan ia baru saja memenangkan undian yang selalu dia ikuti tetapi selalu gagal itu. Aku hanya tertawa melihat gayanya. Lalu aku berpamitan dengannya dan masuk ke mobil Travis. Travis menyuruhku untuk memakai sabuk pengaman dan aku menurut. Selama 5 menit kami berada di dalam mobil dalam diam. Tanganku mulai keringatan. Aku tidak berniat untuk membuka pembicaraan karena aku gugup sekali. Sepertinya Travis juga begitu. Mulutku sudah terasa kering karena tidak berbicara ditambah deru angin dari AC yang langsung ke wajahku itu. Aku terlalu gugup untuk bergerak. Travis sepertinya menyadari ketidaknyamananku sehingga dia mengecilkan pendinginnya. Aku masih tidak berani menatap wajahnya karena aku takut aku bisa mati saat itu juga. Yang bisa kulakukan hanya menatap jalanan dari kaca disampingku. Perjalanan ini lama sekali. Aku sangat tidak nyaman. Aku merasa Travis sedang menatapku jadi aku memberanikan diri untuk menoleh kearahnya. Dan benar saja, mata kami bertemu dan aku diam terpaku. Dia tersenyum lalu berkata, "kau cantik sekali hari ini". Suhu badanku langsung turun dan tanganku menggigil. Oh, rasanya aku mau pingsan.

Thanks for reading! Xoxo
Dont forget to vote and comment :D

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang