Chapter 14

551 16 1
                                    

Happy reading! :D

*Travis' POV*

Aku tidak berniat melakukannya. Aku bahkan tidak mengira bahwa aku berani melakukannya. Stella melototiku dengan wajah tak percaya. Aku tidak pernah mencium wanita sebelumnya, bahkan Claudya sekalipun. Tapi Stella berbeda. Dia terlalu menarik. Astaga, apa yang kupikirkan. Dia pasti mengiraku bukan pria baik-baik. Tiba-tiba rasa panik menyerangku. Badanku kaku dan dingin dan tidak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutku. Pasti Stella menganggapku aneh sekali karena telah menciumnya. Namun Stella tidak lagi melototiku. Dia menatapku dengan tatapan kosong yang membuatku semakin bingung sekaligus takut.

"Apa?", katanya dengan suara lirih. Dia masih menatapku dengan dalam.
"A-aku tidak tahu apa yang kulakukan. Maafkan aku. Aku tidak berniat melakukannya", kataku padanya sambil membantingkan diriku kembali ke kursi pengemudi. Tatapan kecewa bisa kulihat dari matanya tapi sekarang mata itu kembali seperti biasa. Seperti Stella yang biasa kukenal. "Baiklah, aku keluar dulu. Terima kasih sudah mau mengantarku", katanya dengan sebuah senyum singkat. "Sampai jumpa", kataku. Aku menunggunya masuk ke dalam rumah lalu melesat pergi dari jalan itu.

Tidak pernah terlintas dipikiranku hal yang buruk akan terjadi.

***

*Stella's POV*

"Kenapa kamu?", tanya Laura ketika sedang makan malam. "Hah? Memangnya apa yang salah denganku?", tanyaku kembali. "Kalau aku tahu aku tidak akan bertanya padamu. Kau terlihat diam sekali sejak semalam ketika Travis mengantarmu pulang. Apa ada hal yang buruk terjadi? Apa dia melakukan yang tidak-tidak padamu?", kata Laura yang membuat aku tersedak.
"Apa maksudmu? Tentu saja tidak. Travis baik sekali padaku", bantahku. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu mengatakan yang sebenarnya kalau kau memang tak mau", kata Laura lalu kembali menyantap makanannya. Aku tidak mau menjawab lagi karena aku tak mau percakapan ini berlangsung lebih panjang.

Aku sudah dari tadi pagi saat di sekolah mengacuhkan Travis. Menghindari lebih tepatnya. Aku bahkan belum membalas pesannya dan dia sudah beberapa kali meneleponku tetapi sengaja tidak kuangkat. Jujur saja, aku kesal dengan sikap Travis. Bukan karena hal mencium itu. Tetapi karena dia berkata bahwa dia tidak berniat melakukannya seolah-olah itu bukan apa-apa. Jantungku berdegup kencang ketika dia menyatakan perasaannya padaku sampai-sampai aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku ingin mencari kebenaran di matanya tapi aku tidak dapat menemukannya. Kemudian dia mengatakan bahwa dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Rasanya aku habis dilindas truk sampai berkeping-keping. Tapi aku berusaha terlihat sebaik mungkin dan aku menyunggingkan senyum sebelum keluar dari mobilnya meskipun hanya sebentar karena aku benar-benar tidak ingin senyum saat itu. Dia tampaknya tidak memperhatikan perubahan yang ada pada diriku tetapi aku tidak peduli.

"Hey, apa lagi yang kau lamunkan?", Laura membuyarkan lamunanku. "Aku tidak berniat makan hari ini", kataku lalu meninggalkan meja makan dan mengurung diriku di kamar semalaman. Sudah lama aku tidak merasakan sakit sesakit ini.

***

"Stella! Bangunnnn", Laura mengetuk pintu kamarku dengan keras yang membuat aku mengerang. "Iya-iya. Sebentar", kataku dengan malas. "Kalau kau telat aku tidak akan tanggung jawab", katanya yang membuatku bangkit dari tempat tidur dengan paksa. Aku tidak tahu kapan aku terlelap semalam. Aku bergegas mengambil handuk lalu menuju ke kamar mandi dan mandi secepat mungkin sambil sesekali menutup mataku karena aku masih ngantuk. Setelah berpakaian seragam yang lengkap aku pun becermin dan mendapati wajahku pucat pasi seperti orang yang sekarat dan melarikan diri dari rumah sakit. Aku pun sedikit memoles wajahku dan memakai lipstick agar bibirku tidak terlalu pucat. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 dan aku belum sarapan. Aku bergegas mengambil tasku lalu keluar dari kamar. Aku makan dengan cepat lalu berpamitan dan pergi ke sekolah. Aku akan menghindari Travis lagi tentunya.

Sesampainya aku di kelas, semua orang menatapku dengan tatapan selamat-kau-menang-banyak-hari-ini. Ada juga yang menatapku dengan tatapan tidak suka yang membuatku bingung. Aku berjalan menuju mejaku lalu menyadari apa penyebabnya. Ada sebungkus bunga yang sangat besar diletakkan di mejaku dan tidak tercantum nama pengirimnya. Aku semakin bingung. Aku menanyakan teman yang duduk dibelakangku tetapi mereka tidak tahu siapa. Kemudian aku mulai menanyakan satu-satu murid di kelasku dan aku mendapati bahwa Travis lah yang memberikanku bunga itu. Apa maksudnya ini? Apakah dia kira dengan memberiku bunga aku bisa memaafkannya begitu saja? Sungguh tidak masuk akal.

"Ini surat untukmu", kata salah seorang murid yang tidak begitu kenal dekat denganku. Apalagi ini? Aku membuka suratnya dan mendapati tulisan Travis yang tidak jelas namun rapi itu.

Hai Stella,
Jika kamu sudah membaca ini berarti kamu sudah melihat bunga yang kuletakkan di mejamu bukan? Aku sengaja menyuruhnya untuk menyampaikan surat ini kepadamu setelah kau melihat bunga itu.
Pertama-tama, aku ingin minta maaf sedalam-dalamnya karena aku tahu aku salah. Aku tidak tahu aku salah apa. Tetapi pasti itu parah sekali sampai-sampai kau menghindariku semalam. Kau juga sengaja tidak mengangkat teleponku. Aku tahu kau selalu membawa ponselmu kemana-mana. Bisakah kau memberi tahuku apa salahku? Aku sungguh tidak tahu. Kalau aku tidak tahu, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku? Maka dari itu, tolong temui aku nanti sehabis pulang sekolah. Datanglah ke mobilku yang kuparkir di belakang sekolah. Hari ini aku tidak parkir di depan sekolah karena tidak ada lagi tempat parkir. Aku ingin bicara berdua denganmu.

Dari Travis

Aku pun melipat kembali suratnya dan memasukkannya ke dalam amplop. Aku menghembuskan napas panjang. Kau benar-benar tahu cara membutakan seorang wanita, Travis. Kau benar-benar jahat. Dengan cepat aku menyimpan surat itu kedalam tas dan karena bunganya terlalu besar maka aku meletakkannya begitu saja diatas meja.

"Astaga!", pekik Cindy yang membuatku menutup telingaku dengan seerat mungkin. "Bisakah kau tidak berteriak? Ada apa? Kau baru saja masuk ke kelas dan sudah teriak-teriak tidak jelas", marahku. "Itu dari siapa? Dari Travis? Astaga, indah sekali. Omong-omong, kalau kau tidak mau berikan saja bunganya padaku. Aku pasti akan menjaganya dengan baik. Aku akan menyiraminya setiap hari dengan sepenuh hati", katanya. Aku tertawa lucu melihatnya. "Terus saja bermimpi. Untuk apa aku memberikannya padamu. Mungkin saja kalau ini bukan dari Travis aku baru mau memberikannya padamu", kataku yang membuat beberapa murid menoleh kearahku ketika mereka mendengar nama Travis. Anak itu memang benar-benar terkenal. Cindy mengomel tidak jelas dan aku tidak mendengarkan ocehannya karena terlalu terpesona dengan bunga dan pengirimnya itu.

Thanks for reading! :D
Vote and comment yaaaa <3

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang