Epilogue

311 9 0
                                    

Disneyland, Tokyo
20.26 P.M.

"Kau baik-baik saja?", tanyaku sambil tertawa.

"Ya", jawabnya singkat. Wajahnya yang pucat pasi memberiku jawaban yang sebaliknya.

"Seharusnya tadi kau bilang padaku kalau kau takut naik roller coaster", aku tersenyum mengingat Travis yang memejamkan matanya dan memegang tanganku dengan erat selama permainan.

"Ayo duduk. Aku sudah lelah sekali", kataku lalu menariknya menuju bangku taman yang kosong.

Langit Tokyo sudah berwarna biru keunguan dan matahari sudah bersembunyi. Aku terkesima dengan indahnya langit itu dan menyadari betapa bahagianya aku disini.

"Tinggal di Tokyo terdengar seperti ide yang bagus", kataku kepada diriku sendiri.

"Tapi kau tidak bisa bahasa Jepang", Travis akhirnya berbicara dan menatapku dengan tatapan mengejek.

Aku memukul lengannya ringan dan berkata, "ya ya aku tahu kau bisa bahasa Jepang. Tidak perlu mengejekku begitu."

"Mulai sekarang, aku tidak akan naik permainan seperti itu lagi", katanya sambil menunjuk roller coaster yang tadi. Ia lalu menghela napas lelah.

"Aku masih mau hidup, kau tahu", Travis meneguk airnya yang entah kapan ia beli.

"Oh, tenanglah. Kau tidak akan mati hanya karena roller coaster", kali ini aku yang memberikannya tatapan mengejek.
"Baiklah, kau menang. Ayo pergi makan. Aku sudah lapar."

***

Disneyland, Tokyo
11.49 P.M.

"Terima kasih karena telah membawaku kesini", kataku pada Travis. Kami sedang menunggu atraksi kembang api saat tengah malam.

"Hanya ucapan terima kasih saja? Tidak ada yang lain?", katanya sambil menunjuk pipinya.

Aku tertawa dan mencium pipinya.

"Bagaimana? Sudah puas?", tanyaku sambil memutar bola mataku dengan dramatis.

"Belum", katanya lalu menunjuk bibirnya. Aku menggelengkan kepalaku.

"Kalau begitu, aku akan makan ini sendiri dan tidak membagimu", katanya sambil membuka bungkusan burger yang entah kapan dibelinya lagi.

Aku menyerah dan memberikannya kecupan di bibir. Ia tersenyum senang seperti anak kecil.

"Tutup matamu", katanya tiba-tiba.

"Apa?", tanyaku terkejut.

"Tutup saja", aku pun menurut.

"Buka sekarang", katanya lalu aku membuka mataku perlahan.

Travis sudah berlutut di hadapanku sambil memegang kotak kecil berwarna biru di tangannya. Beberapa orang mulai berdiri disekitar kami untuk menunggu adegan selanjutnya. Aku merasakan jantungku berdegup kencang.

"Will you marry me?", tanyanya lalu membuka kotak itu.

Aku terkesiap. Cincin berlian dengan sebuah permata indah ditengahnya terpajang di dalam kotak itu. Aku menganggukkan kepalaku dengan senyum paling lebar diwajahku. Semua orang bersorak senang dan memberikan ucapan selamat. Travis lalu memelukku dan memasangkan cincin itu ke jari manisku.

5...

4...

3...

2...

1...

Kembang api pun meluncur menuju langit dan meledak menjadi kepingan kecil yang berwarna-warni. Travis merangkulku dan menggumamkan beberapa kata yang tidak jelas karena aku terlalu terkesima dengan kembang api itu. Hari ini adalah hari paling indah bagiku. Dan kuharap seterusnya akan begitu, dengan Travis yang selalu berada disampingku.

Terima kasih untuk semuanya, Travis.

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang