Chapter 35

260 12 0
                                    

*Stella's POV*

"Aku akan merindukanmu", kata Nico lalu memelukku dengan erat.

"Aku juga. Aku akan menghubungimu setelah aku sampai nanti", aku berkata di sela keramaian bandara pada siang ini. Terik matahari membuatku berkeringatan.

"Jaga dirimu baik-baik. Kalau terjadi apa-apa, telepon orangtuamu karena mungkin aku sudah terlalu jauh dan tak akan bisa menolongmu lagi", ia mengelus kepalaku dengan lembut.

"Aku sudah dewasa, kau tahu", aku mendongak untuk melihat wajahnya lebih jelas. Aku baru menyadari bahwa ia lebih tinggi satu kepala dariku sekarang. Entah sejak kapan ia bertambah tinggi.

"Aku masih belum merelakanmu hidup sendiri", ia memasukkan kedua tangannya ke saku jinsnya.

"Tenanglah", kataku kemudian melirik jam yang terlingkar di lengan kiriku. "Sudah saatnya aku masuk. Sampai jumpa", aku menarik koperku menuju gerbang masuk dan menoleh sebentar ke belakang untuk melambaikan tangan pada Nico.

"Jangan merindukanku!", teriak Nico sambil melambaikan tangannnya. Ia tersenyum dengan lebar sampai-sampai aku ingin sekali untuk memeluknya kembali. Tapi apa boleh buat. Aku harus mengejar masa depan yang terang. Aku pasti akan merindukanmu, Nico.

***

*Travis' POV*

Ia menatapku kaget, sama halnya denganku. Kurasa kami berdua benar-benar tidak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini. Ia memakai kaos hitam dengan garis-garis putih dan celana jins berwarna biru gelap.

"Maaf, mbak. Nomor kursi anda berapa?", tanya seorang pramugari yang berdiri di belakangnya.

"17B", jawabnya sambil menunjukkan tiket pesawatnya kepada pramugari tersebut.

"Oh, silahkan duduk disini", pramugari itu menunjuk kursi disampingku. Ini hanya kebetulan, Travis.

"T-terima kasih", Stella tersenyum padanya dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang tidak senang hari ini, berbeda sekali dengan kemarin lusa ketika ia bersama Nico di malam perpisahan.

"Hai", sapaku. Aku berusaha untuk terdengar sebaik mungkin. Stella membalasku dengan tatapan aneh dan kembali sibuk dengan ponselnya.

"Kau akan ke Jakarta?", aku memberanikan diri lagi untuk bertanya.

"Tentu saja. Untuk apa aku naik pesawat ini kalau bukan mau ke Jakarta?", jawabnya dengan sinis. Aku menyerah dan memilih untuk melihat ke luar jendela pesawat untuk melihat bandara yang sangat sibuk hari ini. Pesawat mulai berjalan dan sebentar lagi akan terbang.

"Siapa namamu?", aku mendengar suara berat disekitarku. Aku menoleh dan mendapati Stella sedang berbincang dengan pria 40 tahun-an yang duduk di sebelahnya. Matanya tidak lepas dari wajah Stella dan aku mendapat firasat yang buruk dengan itu. Ia menatap Stella dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"H-hah?", Stella menjawab dengan bingung dan sedikit ketakutan.

"Kamu sudah tamat sekolah?", tanya pria itu sambil mengelus dagu.

"Stella", panggilku.

"Kau mau pindah tempat denganku?", usulku. Stella menatapku dengan tatapan penuh terima kasih.

"Untung saja", bisik Stella padaku setelah kami bertukar tempat. Ia menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.

"Aku tidak mau melihat ada kasus pelecehan di pesawat", bisikku pada Stella yang dibalas dengan tawanya.

"Jadi, untuk apa kau ke Jakarta?", tanyaku.

"Kuliah"

"Dimana?"

"Kau sendiri?"

"Kau belum menjawabku"

"Kau dulu"

"Tidak. Aku duluan bertanya"

"Bisakah kalian mengecilkan suara?", tanya pria disampingku dengan nada tak senang. Kurasa ia tak senang karena bukan Stella lagi yang ada disampingnya.

"Kenapa kau tidak bilang dari dulu kalau kau akan kuliah di Jakarta?", tanyaku.

"Aku...", Stella menatap kuku jarinya dan menghela napas.

"Aku sedang tidak ingin mengungkit hal itu", jawabnya tanpa melihatku.

"Ada apa?", tanyaku bingung dengan semua hal ini.

"Tidak bisakah kau mengerti?", Stella menaikkan nada suaranya.

"Aku tidak ingin lagi berurusan denganmu. Aku sudah melupakanmu. Aku sudah belajar bahagia tanpamu. Tapi kenapa kau kembali lagi? Kau mengingatkanku pada semua hari-hari burukku", wajah Stella menunjukkan kalau ia marah sekali. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku tidka melepaskan pandanganku darinya. Seburuk itukah perbuatanku padanya selama ini?

"Maafkan aku", kata-kata itu keluar dengan suara kecil. Stella tidak menjawabku. Ia hanya menatapku seolah ia tidak percaya dengan apa yang kukatakan tadi.

Aku merindukanmu, Stella. Andai saja kau tahu itu.

***
Sebulan telah berlalu dan aku belum bertemu dengan Stella semenjak saat itu. Bertemu dengannya membuatku menyesal dengan perbuatanku dulu. Kenapa aku dengan bodohnya tidak memikirkan kemungkinan bahwa dia juga akan kuliah di Jakarta? Kalau dari awal aku tahu, kami berdua tidak akan melalui hari-hari sulit tanpa satu sama lain.

"Travis, apa yang kau lamunkan?", tanya Hanna disampingku. Aku menatapnya sebentar kemudian mataku kembali fokus pada jalanan di depanku. Jalanan di Jakarta membuatku tertekan karena kemacetannya.

"Tidak ada", balasku singkat. Aku sedang dalam perjalanan menuju universitasku dan kebetulan searah dengan Hanna sehingga aku menawarkannya tumpangan.

Setelah aku mengantar Hanna, aku langsung bergegas ke universitasku. Aku parkir di halaman belakang universitasku. Tempat itu lumayan ramai karena banyaknya mahasiswa-mahasiswi baru seperti diriku. Di samping parkiran ini terdapat lapangan basket yang cukup besar dengan banyak kursi penonton yang panjang dan berwarna hijau terbuat dari besi.

Aku menaikki beberapa anak tangga dan disambut oleh pintu kaca otomatis dari gedung yang tinggi itu. Aku sudah datang kemari semalam untuk mengetahui letak kelasku. Untung saja, karena aku melihat antrian yang sangat panjang di meja administrasi dan aku tidak pernah suka menunggu.

Aku masuk ke dalam lift yang masih kosong dan menekan tombol 4. Saat pintu lift sudah mau tertutup, aku mendengar suara seorang wanita yang berteriak, "tolong tahan pintunya sebentar!". Dengan refleks aku menekan tombol pembuka pintu lift agar ia dapat masuk.

"Terima kasih", katanya lalu masuk ke dalam lift. Wanita itu sama sekali tidak melihat kearahku. Ia memfokuskan pandangannya pada denah gedung yang baru didapatnya.

"Kelasmu di lantai mana?", tanyaku padanya.

Seketika ia mengangkat wajahnya dengan tatapan terkejut. Terdengar bunyi denting dalam lift yang menandakan bahwa lift sudah sampai di lantai 4.

"Lantai 6", katanya ketika aku hendak keluar dari lift. Suaranya terdengar lirih dan aku tahu ia tidak ingin berbicara kepadaku.

Seketika itu juga aku mengurungkan niatku untuk keluar dari lift dan menekan tombol penutup lift setelah menekan tombol 7.

"Apa yang kau lakukan?", tanyanya sambil mengerutkan kening. Ia menatapku seolah aku ini orang asing baginya.

"Aku ingin berbicara denganmu, Stella", kataku sambil mengetuk ngetuk lantai lift dengan ujung sepatuku.

Dengan secepat kilat Stella menekan tombol 6 dan tidak lama kemudian pintu lift terbuka.

"Maaf", katanya sambil menatapku dengan tatapan aku-tidak-suka-mengobrol-denganmu.

"Jangan pernah temui aku lagi".

Stella keluar dari lift tanpa menoleh ke belakang. Aroma parfumnya masih bisa tercium di dalam lift. Aku hanya terpaku melihat punggungnya yang semakin lama semakin jauh dan akhirnya pintu lift tertutup.

Apakah tidak ada kesempatan kedua bagiku?

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang