Chapter 33

271 13 0
                                    

*Stella's POV*

Acara perpisahan sekolah akan diselenggarakan besok. Tak terasa tiga tahun telah berlalu. Masa-masa remajaku sebagai seorang siswi akan berakhir. Aku pun akan berpisah dengan teman-temanku. Aku merasa sedih karena mereka memiliki tujuan universitas mereka masing-masing. Seperti Ivy yang akan kuliah di Singapura, Cindy yang hanya akan menetap di Medan, Andrew dan Steven yang akan ke Yogyakarta, Christopher yang akan ke Inggris dan Nico ke Jerman. Hanya aku dan Christie yang akan ke Jakarta. Dan Travis, tentunya. Tetapi ia bukan temanku.

Aku berusaha memfokuskan pikiranku pada jalanan. Baru-baru ini aku diharuskan untuk belajar mandiri agar aku bisa mengurus diriku sendiri di Jakarta nanti. Ibuku memaksaku mengendarai mobil ke sekolah agar aku terbiasa dengan mobil. Padahal, aku tidak suka sekali. Mengendarai mobil adalah hal yang paling membosankan dalam hidupku. Apalagi ketika terjebak macet. Sepuluh menit lagi aku terjebak kemacetan disini dan aku pasti akan terlambat. Aku tidak suka itu.

Aku membuka radio untuk menenangkan pikiranku dengan lagu-lagu yang sering mereka putar.

Ponselku yang kuletakkan di saku baju seragamku bergetar. Nama Nico tertera dengan jelas di layar. Aku mengangkat teleponnya dan disambut oleh suara Nico yang rendah.

"Kau tahu, acara perpisahannya mengharuskan kita untuk mencari pasangan untuk pesta dansa", katanya tanpa basa-basi.

"Lalu?", tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Aku hanya ingin mengajakmu sebagai teman dansaku sebelum orang lain", ia tertawa kecil setelah mengatakan hal itu.

Aku tertawa dan berkata,"tentu saja. Aku tidak punya teman lain selain dirimu yang pintar berdansa".

Ya, Nico memang pintar dengan hal-hal semacam itu. Piano, dansa, dan anggar adalah keahliannya. Entah darimana ia mendapatkan bakat mewah seperti itu.

"Baguslah. Yasudah kalau begitu. Kau sudah sampai mana?", tanya Nico.

"Aku sebentar lagi sampai", kataku sambil memutar setir mobil ke kiri dengan tangan kananku kemudian aku memutuskan sambungan teleponnya.

Bangunan sekolahku sudah tampak dari kejauhan. Cat dindingnya yang biru sangat mencolok dibandingkan bangunan-bangunan yang berwarna coklat disekitarnya. Beberapa jendela terbuka dan murid-murid yang sedang ada di kelas lantai tiga mengamati langit senja yang agak mendung hari ini. Mereka tentunya akan merindukan sekolah ini.

"Lama sekali", kata Nico begitu aku keluar dari mobil yang kuparkir disamping motor kesayangannya.

"Macet, seperti biasa", aku langsung berjalan menuju kelas sambil menghindari tatapan orang-orang yang sedang berada di gerbang. Nico mengikutiku dari belakang.

"Kau tidak perlu menungguku. Lihatlah penggemarmu itu yang melemparkan tatapan sinisnya kepadaku", aku menunjuk segerombolan wanita yang sedang berdiri di samping gerbang yang sedang melihatku. Karena tertangkap basah, mereka langsung berlari meninggalkan tempat itu.

"Biarkan saja mereka", kata Nico acuh tak acuh. Aku hanya mendengus melihat kelakuannya yang menyebalkan itu.

"Oh ya, kau tahu Travis sudah mengajak seseorang untuk menjadi pasangannya", kata Nico sambil menjejalkan kedua tangannya ke saku celana.

"Aku", kataku lalu menatapnya dengan tajam. "Tidak. Peduli.", sambungku.

Nico membentuk huruf O dengan mulutnya lalu tersenyum dengan lebar. "Aku tahu kau cemburu", katanya lalu melemparkan tangannya ke pundakku untuk merangkulku.

"T-tidak", aku mencoba mengelak.

"Baiklah. Kalau begitu akan kuberitahu kepadamu bahwa nama wanita itu adalah...", kata-katanya terputus dan ia menghentikan langkahnya.

Last KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang