Chapter 19

179 7 9
                                    

Sorry for a very very late update!! Gilss how long gue left this story yaaa sampe baru nulis lagi *cry* *cry*

Kalintang deui, abdi teda hapunten *padahalgangerti*

Buat yang masih mau baca, silahkan atuh, tapi sekali lagi maaf kalo ga sesuai harapan:)

*****

Berulang kali Zeva mengusapkan telapak tangannya karena basah dengan keringat. Kepalanya juga trus ditundukkan, takut bila harus beradu tatap dengan Kala yang tak sedetik pun mengalihkan pandangan darinya.

Bila dihitung dalam waktu, mereka sudah menghabiskan hampir setengah jam, sia-sia hanya dalam diam. Zeva membisu karena masih tak menemukan keberaniannya, sedangkan Kala dengan setianya menunggu Zeva yang bicara tanpa harus dia yang menginterogasi.

Tapi kali ini, Kala sudah tak tahan. Sambil mengacak-acak rambutnya frustasi, Kala mengentakkan nafasnya kasar, dan mulailah dia bicara. "Zev, apa susahnya sih tinggal cerita doang? Mau sampe kapan gue harus nunggu lo, diam, remes-remes selimut, mainin tangan, trus nunduk-nunduk, kayak gitu?"

Masih tak kunjung mendapat jawaban, Kala menarik bantal yang sedari tadi dipeluk Zeva sampai fokusnya teralihkan hanya pada pelototan mata Kala.

"Iya, ini juga mau cerita. Jadi...dari beberapa waktu lalu itu...aku dapet..."

Gebrakan pintu dari luar, menggantung ucapan Zeva. Sang kakak, Abra, tiba-tiba nyerobot masuk dengan raut wajah panik. "Kita harus ke rumah sakit, sekarang."

Zeva yang masih mengenakan baju rumah, tak bisa berbuat apa-apa, saat Abra menariknya dengan paksa keluar. Tanpa tahu apa yang terjadi, dan tak tahu sama sekali alasannya mengapa harus pergi ke rumah sakit.

Kala yang juga berada disana, hanya melongo dan keheranan melihat tingkah panik Abra.

Di seret secara paksa tanpa menjelaskan alasan yang jelas, Zeva akhirnya gerah dan melepas pegangan tangan Abra. "Kak sebenarnya ada apa sih? Kenapa kita harus ke rumah sakit? Siapa emang yang ada di rumah sakit?"

Abra menarik nafas, dan begitu satu kata keluar dari mulutnya, seakan jantung Zeva akan mendadak keluar dari dalam tubuhnya. "Mama."

Kepanikan segera menyergap Zeva dalam sekejap mata. Awalnya Abra yang menarik dirinya, kini posisi itu bertukar sehingga dirinya lah yang menarik Abra dan memaksa untuk segera diantar ke rumah sakit.

Bukan apa-apa. Sejak kejadian semalam, Zeva seperti merasa trauma. Dia takut apa yang mamanya alami, adalah salah satu bentuk teror untuk dirinya.

"Kenapa mama bisa masuk rumah sakit, kak?" Tanya Zeva begitu mereka sudah berada di mobil milik Kala untuk segera di antar ke rumah sakit.

Abra yang saat itu duduk di sebelah Zeva, hanya mengangkat bahu. Berita yang datang mendadak, membuatnya juga tak bisa mendapat penjelasan lebih lengkap.

Sepanjang perjalanan, Zeva duduk dengan cemas di kursi penumpang belakang, serupa dengan Abra yang juga terlihat khawatir walaupun dia berusaha menutupi dengan raut wajah dinginnya.

Sementara itu di kursi kemudi, Kala menyetir dengan gaya tak kalah dari Fernando Alonso, pembalap F1. Untungnya pula jalanan sedang lancar, tak ada hambatan, tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di rumah sakit yang diberitahui si penelpon yang mengabarkan pada Abra.

Baik Abra dan Zeva, mereka sama-sama langsung berlari menuju ruang Unit Gawat Darurat dimana, mereka menemukan asisten mamanya berdiri di depan. "Ibu ada di dalam, bareng sama bapak yang baru aja dateng."

Abra menganggukan kepalanya dan melangkah masuk ruang UGD mengikuti langkah asisten mamanya tersebut dan diikuti Zeva di belakangnya. Namun, langkah Zeva berhenti tepat di depan pintu ruang UGD. Handphone yang di dalam kantong celananya bergetar dan menunjukkan unknown number di layarnya.

Hidden TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang