Dua Belas

998 41 1
                                    

Malam ini benar-benar terasa sangat dingin tak seperti biasanya. Namun tak mengurungkan niatan Rio untuk merefreshingkan pikirannya. Kini ia berjalan menuju paviliun barat sendirian.

Namun langkah pemuda itu tiba-tiba saja terhenti ketika mendapati seorang gadis tengah terlamun sendirian. Rio tak mencoba mendekat atau pergi. Ia malah terpaku diam. Tak dapat bergerak.

Shilla mendongakkan kepala saat mendengar suara langkah kaki yang pelan itu. Ia merasakan ada keberadaan seseorang di paviliun itu juga.

Kini Shilla menatap pemuda yang dengan cepat membalikkan badannya. Gadis itu tersenyum getir sembari menatap punggung pemuda itu.

"Kenapa? Kenapa Tuan menyerah padaku? Kenapa dengan mudahnya Tuan melakukan itu? Disaat aku menahan sakitnya merindukanmu. Apa Tuan lupa dengan janji yang Tuan buat?" katanya lirih. Airmata mulai mengalir dari mata indahnya itu.

Rio masih mematung ditempat. Tak berniat membalikkan badannya kembali atau angkat bicara. Ia hanya bisa membisu.

"Tuan bilang langit itu turun untukku. Lalu? Langit itu mencampakkan ku kembali?"

"Ya aku tahu. Kita dari awal memiliki cinta yang tak seharusnya dimulai. Sejak awal pun aku tak bisa berharap apa-apa padamu."

"Tapi tuan yang memulainya. Tuan yang meminta hati rongsokku. Tuan yang membuatku berharap dan memberiku harapan itu."

"Hidup tuan terlalu mudah. Tuan masih bisa meminum penenang setiap harinya. Sedangkan aku? Aku hanya bisa bersikap bodoh dengan menangis setiap hari." shilla tertawa miris.

"Bagaimana aku bisa percaya pada langit yang bahkan hanya berpura-pura turun untukku."

Rio tertegun. Tubuhnya terasa kaku tak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan keluhan gadis itu.

Kini Shilla menyudahkan ucapannya yang tak mendapat respon itu. Kemudian ia menyeka airmatanya, beranjak mendekati Rio namun hanya melewatinya. "Aku... Akan menyingkir seperti yang diinginkan Yang mulia" bisik gadis itu ketika melewati Rio yang masih mematung. Dengan memberikan penekanan di kata 'Yang mulia'.

Kali ini Rio yang tergeletak lemah tak bisa berdiri ketika menatap punggung gadis tadi berjalan melewatinya.

Ia mengacak-acak rambutnya "Aahhh." teriaknya.

Kini ia melangkahkan kakinya gontai menuju paviliunnya dengan disambut Daud yang nampak cemas dengan keadaan Yang mulianya dengan kondisi rambut yang berantakan dan setelannya yang kotor.

"Yang mulia darimana? Yang mulia tidak apa-apa? Mengapa Yang mulia seperti ini?" tanya Daud yang kini sudah berada dihadapannya.

Rio meraih pundak Daud dengan satu tangannya kemudian menggeleng sambil tersenyum getir. Namun sedetik kemudian ia terisak. Ia tak dapat menahan rasa sakit yang entah darimana ia rasakan. Sepertinya semua organ tubuhnya sedang dilumpuhkan. Semuanya terasa sakit.

Daud hanya menatap Rio yang terisak dengan tatapan getir. Apalagi semakin lama tangisan itu semakin menjadi-jadi membuat tubuh kokoh pemuda itu bergetar hebat.

Daud meraih pundak Rio juga, kemudian menepuknya pelan. Matanya pun ikut berkaca-kaca. Rasanya ia benar-benar tak tega melihat Tuannya terisak seperti ini. "Yang mulia ingat kata ayah anda. Tetaplah kokoh. Yang mulia tidak boleh tumbang seperti ini."

Sambil terus mencoba menenangkan yang mulianya. Daud memberi perintah pada pelayan lain untuk mengambil penenang di ruang kesehatan secara diam-diam. Karna lagipula jika memanggil dokter selarut ini akan membuat kecurigaan orang-orang dan menyebarkan berbagai macam gosip.

***

Shilla tidak bisa tidur semalaman. Membuat kepalanya pusing saat ini dan izin dari pekerjaannya untuk beristirahat dikamarnya.

Holding Sky in The PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang