19

618 64 3
                                    

"Siswa yang bernama Xaverio Adam harap segera ke ruang kepala sekolah sekarang!"

Adam yang tengah mencoret-coret halaman belakang bukunya karena suntuk pun mendongak. Seluruh murid X-4 yang tadinya fokus memperhatikan Ibu Ros menjelaskan di papan tulis pun kini beralih fokus menatap Adam.

Gian yang kebetulan duduk bersebelahan dengan cowok itu menyenggol lengan Adam.

"Kenapa lagi lo?" bisik Gian yang tidak ditanggapi oleh Adam.

Adam hanya diam. Berusaha mencerna alasan mengapa namanya dipanggil. Setelah menerka-nerka sesuatu hal, dia langsung mendengus sebal.

"Sekali lagi, kepada siswa yang bernama Xaverio Adam harap segera ke ruang kepala sekolah sekarang!"

Panggilan kedua dari pengeras suara kembali ditujukan pada Adam.

"Kamu tidak dengar? Cepat ke ruang kepala sekolah!" bentak Ibu Ros kesal. Sebab Adam sedari tadi tidak berkutik dari tempatnya.

Adam lalu beranjak dari tempat duduknya dengan wajah datar yang memancarkan aura yang dingin. Devan dan Gian saling bertukar tatap, seperti keduanya sedang berbicara namun tak bersuara. Mereka dua bahkan sudah menebak alasan mengapa nama Adam dipanggil.

— ㅇ —

Adam sudah menduga bahwa panggilan itu memang ditujukan padanya hanya untuk mempertemukannya dengan Rio. Setelah rapat guru dan direktur sekolah selesai, Adam masih melihat mobil ayahnya terparkir rapi. Yang bertanda bahwa ayahnya belum meninggalkan sekolah.

Dan disinilah mereka sekarang, duduk saling berhadapan di ruang kepala sekolah. Hanya mereka berdua. Sebab Rio meminta sang Kepala Sekolah untuk memberikan dia waktu berbicara dengan anak tunggalnya tersebut.

Rio memperhatikan sudut bibir Adam yang sedikit terluka akibat pukulan Yogi tadi. Rio sudah mendengar semuanya, bahwa selama rapat tadi, Adam terlibat perkelahian lagi. Seperti itulah yang dia dengar dari mulut ke mulut.

"Mau jadi jagoan lagi?" tanya Rio terkesan dingin namun tegas.

Adam tidak menjawab. Dia hanya diam, memperhatikan sepatu sekolahnya dan sesekali menggerakkan kakinya.

"Jawab, Adam!" suara Rio meninggi. Terlihat jelas bahwa pria itu sedang menahan emosinya.

"Dia yang mukul Adam duluan." jawab Adam sekenanya.

"Dasar pembohong!" Rio membentak, "Kamu yang cari gara-gara kan? Memang benar kamu tidak pernah bisa diatur!" Rio membentak lagi. Nada bicaranya terkesan menuduh Adam. Apa yang keluar dari mulut Rio barusan benar-benar membuat hati Adam terasa nyeri.

Bagaimana bisa ayahnya semudah itu menyalahkannya? Padahal memang benar bukan Adam yang memukul duluan. Dia bahkan tidak melakukan perlawanan sebab cowok itu sadar bahwa ayahnya sedang berada di sekolah.

"Kayaknya Adam selalu salah ya di mata, Papa?" Adam bersuara, "Adam udah jujur. Bukan Adam yang nyerang duluan. Adam juga nggak nyerang balik. Coba aja tanya ke teman-teman Adam."

"Dasar pembohong! Bisa saja kan kamu menghasut teman kamu untuk berbohong!" Rio kembali menyudutkan Adam, membuat cowok itu mengepalkan tangannya. Berusaha menepis nyeri dalam hatinya karena telah disudutkan oleh ayahnya sendiri.

Adam menarik napas kasar lalu membuangnya, "Ya terserah, Papa."

Adam berdiri dari tempatnya lalu tanpa permisi dia berjalan keluar dari kepala sekolah dengan perasaan kecewa dan marah yang membeludak dalam dada.

ZADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang