"We didn't break up. We never started" -Levina Estara Putri-
-----------
Warning !!!!!
Typo(s)
Short part==============
Nyaman.
Rasa hangat menjalar ke tubuh Levina, rasa nyaman yang sangat familiar. Hirupan dan hembusan nafas terasa di leher jenjang Levina. Aroma maskulinnya sangat kentara. Di atas perut, Levina merasakan adanya lengan nan kokoh dan kaki yang membelitnya erat. Lilitan tangan dan kaki ini sangat familiar untuknya. Mata Levina yang sedari tadi terpejam, langsung membulat, menoleh melihat ke sampingnya. Nafasnya tercengkat.
Rezky sedang memeluknya erat, Levina berusaha menormalkan nafasnya. Pelan Levina menyingkirkan tangan Rezky, punggung tangan Rezky sudah berlumur darah kering bekas robekan dari selang infus. Levina duduk dipinggir kasur rawat Rezky, mencoba menenangkan pikiran yang bercambuk dikepalanya.
Hati Levina seakan tertohok melihat Rezky yang sekarang sedang terbaring miring, masih seperti posisinya tadi namun sekarang memeluk angin. Tanpa sadar tangan Levina terulur mengelus bekas jahitan di pelipis Rezky, turun ke bawah ia menyentuh warna kebiruan di pipi Rezky lalu jari Levina berhenti di sudut bibir Rezky yang robek. Semua lebam ini hasil pertikaian Raka dan Rezky.
Levina mengelus pelan bibir Rezky yang sudah ia rindukan menyapu bibirnya dan sekujur tubuhnya. Biasanya bibir itu yang memanjakan lipatannya beberapa minggu yang lalu.
Sadar akan tindakannya, Levina langsung menarik tanganya menjauh dari wajah Rezky. Levina lalu mengepalkan tanganya, mencegah jarinya agar tidak lagi menyentuh Rezky. Ia turun dari kasur lalu menyambar tas mungilnya berjalan jinjit untuk memutar handle pintu.
Setelah berada di balik pintu kamar Rezky, Levina menghela nafas panjang. Ia butuh kopi.
Berjalan ke ruangan yang ada di ujung lorong, ia menemukan seorang pria pewarat yang sedang mengecek berkas pasien. "Mas," panggil Levina, sang perawat langsung menoleh.
"Kamar nomor 1, infusnya lepas tolong di pasangin lagi mas," pinta Levina.
Setelah anggukan dari perawat tersebut, Levina lalu pergi ke coffee shop mungil sebrang rumah sakit untuk menjernihkan pikirannya. Levina hampir sudah setengah jam duduk menyesap kopinya sambil memandang keluar jendela. Sampai akhirnya dering di handphonenya mengantarnya pada kesadarannya.
+628 5646 XXX CALLING
Levina mererutkan keningnya, namun dengan cepat ia menggeser layar handphoneya
"Halo," sapa Levina.
Sapaan Levina disambut hangat oleh wanita disebrang sana. "Hai Levin!"
Tubuh Levina mendadak kaku, ia sangat mengenal suara cempreng wanita itu. Hatinya kembali teriris-itis. Luka yang belum sembuh total kini mendadak seperti ditaburi garam. Meneguk ludahnya sendiri, Levina berusaha menahan emosinya. Ia ingat, statusnya bukan siapa-siapa Rezky jadi ia tidak pernah berhal marah pada wanita di ujung telepon
"Whats up, Nadya?" tanya Levina dengan suara tercekik.
Levina langsung menjauhkan telinga saat Nadya terawa. "Gausah sok cool deh lo. Lo sebenernya sebel kan sama gue karna Bara nyium gue waktu itu," ucap Nadya tanpa basa-basi, khas seorang Nadya.
Levina menggeleng lupa jika Nadya tidak bisa melihat kepalanya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. "Rezky dan lo bebas ngelakuin apapun, Nad. Gue bukan siapa-siapa Rezky," ucap Levina parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISES (SERIES 1)
Romance"Jadi aku sama kamu temenan sampe kakek nenek. Aku sama kamu gak akan pacalan. Aku juga gak akan cium orang lain selain papah, mamah dan kamu. Janji?" "I..iy.. Iya janji. Janji pelaut" Levina Estara Putri dan Rezky Barata Harus mulai...