Bayangan daun dari pohon kersen yang tumbuh di samping studio ballet samar masuk lewat jendela besar. Hari sedang terik-teriknya, langit begitu cerah cocok untuk menghabiskan waktu di luar. Cerahnya langit tak serta merta secerah hari dari seorang penari ballet.
"Dengan berat hati Levina, tante gak bisa perpanjang kontrak kamu disini," ucap Madame Lisa dengan mata berkaca kaca.
Levina menghempaskan punggungnya ke kursi, lemas. "Jadi Madame... Saya... S-Saya...," kata-kata Levina tercekat dengan ludahnya sendiri.
Levina memandang nanar meja yang ada dihadapanya, rasanya kepalanya berat untuk menatap wanita di balik meja. Tangan Levina yang bertengger di meja langsung diraih Madame Lisa, atasanya sekaligus pemilik studio tari ballet.
"Maafin Madame... Madame gak bisa perpanjang kontrak kamu. Ada masalah intern yang bikin keuangan tersendat. Mau gak mau Madame harus mengambil tindakan merampingkan pelatih-pelatih disini, dan salah satunya itu kamu," jelas wanita paruh baya tersebut sambil menyeka airmatanya. "Maaf, keputusan ini juga berat buat Madame," mohonnya lirih.
Seorang pelukis tak bisa hidup tanpa kuasnya, gitaris tak bisa hidup tanpa gitarnya dan seorang penari tak bisa hidup tanpa kakinya. Modal awal Levina memasuki dunia Ballerina hingga sukses, sudah tidak sempurna. Diterima menjadi pelatih di studio Ballet milik Madame Lisa saja sudah suatu keajaiban.
Ia hanyalah burung dengan sayap patah.
Jika ada perampingan pelatih maka burung yang tidak sempurnalah yang akan pertama disingkirkan.
Levina melepaskan pegangan tante Lisa membuat Madame Lisa kaget. Namun, dengan cepat Levina beranjak dari duduknya lalu memeluk Madame Lisa.
"Gak ada yang perlu dimaafin, justru aku mau berterima kasih, karna Madame udah kasih kesempatan buat Levin ngelatih anak-anak disini. Makasih Madame..." ucap Levina meredam tangisnya. "Aku pamit, Madame."
Madame Lisa menarik tangan Levina sehingga Levina menoleh kembali ke belakang lalu ia menyodorkan amplop kecil warna coklat. "Ini sedikit uang pesangon kamu."
Levina memandang nanar pada amplop coklat itu. Ia tidak butuh uang, Rezky sudah sangat mencukupi hidupnya dengan materi. Akhirnya ia menggeleng.
"Jangan, Madame. Uangnya simpen aja ya buat nambah-nambah keuangan studio. Lagian aku ngelatih anak-anak disini, karna aku cinta sama dunia ballet."
"Tapi...," protes Madame Lisa. Levina menggeleng cepat. "Makasih Madame, Levina pergi dulu," pamit Levina.
Hatinya hancur berkeping-keping saat Levina berjalan membelah ruangan. Saat meraih handle pintu, Levina berbalik dan membungkuk ke arah Madame Lisa sebagai bentuk hormatnya pada beliau.
Berkali-kali ia menghembuskan nafas beratnya. Kakinya seakan berat meninggalkan gedung studio ballet ini. Hatinya miris, kian teriris saat ia berjalan ke ruangan latihan yang tidak akan ia pakai lagi. Dada Levina sesak saat ia melihat bagunan putih itu kian menjauh dari spionnya.
Entah apa yang harus ia katakan pada Rezky, akhir-akhir ini Rezky bercerita jika kekuatan rupiah yang kian melemah membuat performa Barata Group di kancah pasar dunia kian meredup. Keadaan ekonomi keluarganya sedang menurun. Levina tumbuh sebagai wanita karier sejati, ia tak ingin berpangku tangan hanya kepada penghasilan suami. Mulai sekarang ia harus mencari pekerjaan pengganti.
Ban mobil Levina berdecit berhenti didepan rumah minimalis berpagar rendah, Levina mengetuk pintu dengan sabar. Hingga keluarlah seorang wanita tersenyum secerah matahari berlumuran tepung dengan celemeknya.
"Mbak," sapa Levina. Levina mengendus udara yang bercampur aroma manis. "Mbak... Kali ini bikin apa?"
"Aku lagi nyoba bikin kue bolu, udah percobaan kedua masih aja bantet," jawabnya sambil mengendus kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISES (SERIES 1)
Romance"Jadi aku sama kamu temenan sampe kakek nenek. Aku sama kamu gak akan pacalan. Aku juga gak akan cium orang lain selain papah, mamah dan kamu. Janji?" "I..iy.. Iya janji. Janji pelaut" Levina Estara Putri dan Rezky Barata Harus mulai...