#17 - Patience

161K 4K 46
                                    

HERE WE GO ...

masih ada kah yang inget cerita ini dari awal setelah lama gue menghilang?

ada yang inget kalo gue pernah share akun ig?


Hehe yaudah segitu aja.. selamat membaca yah guys...

{[----------BROTHER!----------]}

17


Kulihat wajahnya mengerut dalam tidur. Menahan sakit yang terbawa mimpi.

"Arrhh ... sakit ... ngh ..." rintihannya membuatku panik. Aku dekati dia dan mengelus kepalanya.

"Sweety, katakan dimana yang sakit?" tanyaku, namun dia tidak menjawab. Aku tak berhenti merutuki diriku sendiri.

Ada apa denganku!?

Aku sendiri yang akan menjaganya, tapi malah aku yang merusaknya sampai seperti ini. "Brengsek!" kujambak rambutku merasa frustasi melihat ladie seperti ini. Aku tidak tahu harus bagaimana.

Ketika kusentuh tubuhnya, dia terasa panas. Sangat panas. Kuukur suhunya yang mencapai 39°c. Suhu di mana akan sangat menyiksa tubuh pemiliknya.

Saat kulihat dia mengerang, aku langsung mendekatinya. Kuelus kepalanya, tapi dia malah tambah meringis seakan sentuhanku sangat menyakitkan, padahal aku melakukannya dengan sangat lembut.

Selama beberapa detik aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, sampai akhirnya kutarik selimut sampai menutupi ke lehernya.


___________________


Sudah sampai siang ini ladie tidak pindah dari posisinya. Hal ini membuatku sangat frustasi. Karena keadaannya seperti ini, kuputuskan untuk tidak pergi ke kantor hari ini. Aku tidak bisa meninggalkannya.

Dokter. Itu yang aku butuhkan. Bukan. Bukan aku, tapi yang Ladie butuhkan.

Aku menemaninya duduk di samping ranjang sepanjang siang ini, kuangkat ponselku dan memanggil dokter pribadiku.

"Ke rumahku sekarang!" ucapku cepat saat nada sambungan itu sudah diangkat.

"Apa kau gila? Butuh dua hari aku kesana!" jawab Brooklyn Becham. Sahabat ku yang sudah menjadi dokter.

"Aku di Los Angeles ..." jawabku akhirnya.

Terjadi jeda beberapa detik sampai akhirnya, "baiklah, aku akan kesana," jika sudah berkata seperti itu, dia pasti akan sampai kesini. 

Tunggu...

"Ah, aku bukan di rumah," baru aku ingat. Dia hanya tahu rumahku, tidak dengan apartemen Ladie.

"Lalu?"

"Akan ku kirim alamatnya."

"Oke!"

"Cepatlah," setelah itu, langsung kuputus sambungan telpon dan menaruh ponselku kembali di atas nakas. Kulihat lagi gadis kecil yang terbaring di sampingku. Bibirnya memutih dengan lukisan beberapa luka di sana. Hatiku panas melihatnya.

Sangat.

Perlahan kudekatkan jariku pada bibirnya lalu mengelusnya perlahan. Tapi saat jariku menyentuh bibir pucat itu, keningnya kembali mengerut dan bibirnya bergerak menahan sakit. Sebegitu sakit kah dia karena ku?

Brother! [REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang