You Or You -- 22

2.3K 287 47
                                    

"Bukan maksudku berpaling,    hanya saj...."

"Udah deh, aku nggak mau jadi hambatan untuk hubungan kalian. Apalagi Dinda itu sahabatku."

"Hubungan apa maksudmu, Mei?" tanya Denis heran dengan ucapan penuh nada putus asa dari Mei.
         
"Hubungan kalian lah  emangnya apalagi? Nggak usah pura-pura bodoh dengan wajah kaget seperti itu, Den!" kesal Mei melihat Denis masih mengernyitkan dahi.
        
"Akh, ya ampun, Mei, kamu salah sangka. Aku sama Dinda nggak ada hubungan apa-apa." Dengan menahan senyum, Denis meraih kedua tangan Mei yang masih kesal.
        
"Sejak awal kuakui memang sempat tertarik sama Dinda, karena semuanya mengingatkanku pada seseorang." Denis menggenggam erat sambil mengusap punggung tangan Mei dengan ibu jarinya. "Namun aku sadar, rasa ini bukan cinta."
        
"Nggak usah berbelit-belit, dan jangan mengumbar rasa cintamu itu di depanku," kesal Mei sekaligus diliputi rasa cemburu.
         
"Dengarin aku dulu, Mei. Masa kamu nggak bisa lihat kesungguhanku selama ini?"
        
"Tentang apa, Den? Tentang rasa kagummu pada sahabatku yang sekarang ingin dipamerin?"
         
"Aku mencarimu bahkan sampai di Surabaya ini, hanya untuk menjelaskan salah paham kita."
        
"Apa maksudnya dengan salah paham? Oh dan 'kita'? Apa aku tak salah dengar, Den. Memangnya ada hubungan apa sampai aku dan kamu harus bernaung dalam kata 'kita' ?" Mei meninggi.
        
"Mei, hanya ada kita, aku dan kamu untuk menyelesaikan salah paham selama ini."
       
"Tidak, Den...." Denis Frustrasi, pun Mei yang keras kepala.
       
"I love you."

Kalimat yang ditunggu Mei sejak dulu terdengar juga. Kalimat yabg sejak dulu ia harapkan keluar dari mulut Denis. Laki-laki yang awalnya ia anggap sahabat, kakak, dan saudara jauh itu diam-diam ia cintai.  Mei tertegun. Kepalanya bersitatap dengan telaga Denis yang penuh kesungguhan. "Bahkan sejak dulu aku selalu mencintaimu," ungkap lelaki bertahi lalat di belakang telinganya itu lembut tanpa keraguan.
        
"Lalu Dinda?"
        
"Sudah kubilang, aku tidak ada hubungan apa-apa denganya. Kami hanya berteman karena Dinda sepertinya tahu perasaanku padamu masih sama."
        
"Bagaimana dia tahu? Dan bodohnya aku percaya jika kalian berpacaran dari mulut Dinda sendiri." Mei jadi kesal begitu ingat Dinda pernah pamer hubungannya dengan Denis, yang ternyata fiktif belaka.
       
"Aku sempat mengungkapkan perasaanku  tapi dia menolak. Dan dia juga yang menyemangatiku untuk mengejarmu lagi."
       
"Aku hanya cadangan?" Denis meringis, dan Mei mendesah kecewa.
       
"Mei, aku mencintaimu sejak dulu dan masih hingga detik ini. Kuakui perasaan pada Dinda itu sekadar simpati, rasa kagum saja. Sumpah, Mei, aku sangat mencintaimu selalu. Dan apa jawabanmu?"
       
Denia menunggu dengan jantung berdebar. "Me too," jawab Mei singkat
       
"Apanya?" Denis malah menggoda perempuan di hadapannya yang bersemu merah.
       
"Love you more."
       
Dikecupnya kening Mei dengan lembut. Kini Denis tahu bahwa sejak dulu perasaan ini hanya untuk gadis kecilnya. Dan dengan Dinda, hanya rasa simpati dan kagum yang pada akhirnya hanya menjadi 'pengingat' pada seorang gadis cinta pertamanya.
       
"Tapi saat di apartemen dulu, aku dengar suara perempuan yang jawab telepon. Kamu ada main hompimpa sama dia? Ngaku!" Mei menuding telunjuknya ke arah Denis. "Apa kalian sudah ... maksudku hubungan kalian apa masih emmm maksudnya...." Mei merasa bingung sendiri dengan pertanyaanya. Jujur suara perempuan itulah yang sudah memporak porandakan keyakinanya untuk tidak percaya lagi pada hatinya, pada lelaki yang baru saja mengatakan bahwa dia mencintainya.
        
"Ssstttt ... dia hanya teman. Hanya teman yang cuma kuminta membayarkan tagihan di Bar, karena saat itu sedang mabuk," ungkap Denis agak takut jika reaksi Mei akan menggila, mengingat ia dikenal Mei sosok lelaki anti alkohol.
       
"Kamu mabuk?" Mei syok. Ditariknya daun telinga Denis hingga lelaki itu megaduh.
        
"Itu karena aku begitu frustrasi dengan perasaanku."
       
"Tentang?"
       
"Aku bingung bagaima mengatakan kalau aku sungguh menyayangimu sebagai perempuan, bukan sebagai adik kecilku."
       
"Pengecut!"
       
"Aku memang seperti itu, Mei, aku takut jika dirimu hanya menganggapku kakak saja."
       
"Dan kabur ke luar negeri tanpa sepatah kata perpisahan?"
       
"Aku tidak siap patah hati apalagi harus berpamitan. Aku benar-benar bingung, Mei, tolong mengertilah," ucap Denis putus asa.
      
"Sialan, kenapa aku harus jatuh cinta pada pria pengecut yang takut patah hati seperti dirimu huh?"

Dengan sedikit menarik kerah baju Denis, bibir Mei mendarat kasar di permukaan bibir Denis hingga laki-laki itu gelagapan dengan tingkah kekasih nya. Tanpa menunggu lama untuk sadar, Denis langsung membalas pertarungan bibir yang saling mendamba keduanya tak kalah beringas. Sialnya aktifitas itu harus terhenti dengan gangguan dering telepon dari handphone Denis. Dengan mengumpat kesal ia mengangkat panggilan.
     
Sementara Denis menerima panggilan, Mei meraih tas yang sedari tadi tergeletak di kursi ruang tamu milik teman semasa kuliah dulu yang sekarang sudah berumah tangga dan mengikuti suaminya di kota ini. Karena rasa frustasi mengisi liburan panjang dengan meratapi patah hati palsu, Mei memutuskan pergi ke Surabaya menyusul Rangga. Alih-alih bisa meredakan luka hati dengan bercerita kepada Rangga, yang ada malah saudara sepupunya itu asyik dengan para perempuan menor pengejar burung dalam sangkar.

Pilihan terakhir daripada jadi kambing congek adalah pergi menemui temannya di daerah Ketintang. Meninggalkan handphone memang pilihan tepat untuk menghindari dering khawatir dari seluruh anggota keluarga, karena Mei pergi ke Surabaya tanpa memberitahu keluarganya. Hanya Dinda yang sempat menjadi teman perjalanannya serta Rangga, orang yang menjadi tujuanya.
        
Entah dari mana Denis bisa menyusulnya. Setahu Mei  ia tidak pernah memberitahukan alamat temannya ini kecuali pada ... Rangga.
       
Sial!

Mei memaki mulut ember Rangga membocorkan posisinya. Sampai-sampai Denis menyusul ke rumah temannya dan memberikan ungkapan cinta serta ciuman menggelora beberapa menit yang lalu. Setidaknya ia harus berterima kasih dengan sepupu usilnya, sedikit saja.
        
Menyebalkan! Bahkan dulu dia yang amat menentang perilaku Denis pada Mei, dan lihatlah sekarang. Bahkan ia sendiri yang mengantarkan Denis pada dirinya.
        
"Kamu cari apa?" tanya Denis begitu melihat Mei mengobrak- abrik tasnya.
        
"Duplikat kunci rumah ini." Setelah ketemu apa yang Mei cari, diajaknya Denis keluar dari rumah temannya yang memang sedari pagi penghuninya sedang bekerja di salah satu rumah sakit dan Mei ditinggalkan sendiri di rumah.
       
"Den, antar aku ketemu Pratama!" titah Mei begitu sampai di depan mobil yang dibawa Denis. Menurut, Denis melajukan mobilnya menemui pemilik mobil yang ia pinjam sekaligus menemui orang yang ingin ditemui Mei.
        
Mobil melangkah menuju sebuah gedung perusahaan ternama milik Abimana. Nama keluarga yang membangun dan mengembangkan perusahaan besar dengan berbagai anak cabang di berbagai kota, berpusat di Jakarta sedangkan di kota ini merupakan perusahaan cabang yang dikelola oleh salah satu cucu seorang Abimana.
         "Sayang, kamu ke ruanganya dulu ya, aku mau ke apartemen sebentar ambil dokumen penting," pamit Denis begitu memasuki area parkir gedung megah tersebut.
       
Mei mengangguk sambil tersenyum. Kakinya melangkah masuk dan tanpa diduga ia melihat dua orang yang amat dikenalnya tengah berjalan tergesa menuju lift. Dengan langkah cepat, Mei mengekori keduanya bahkan saat Mei ikut masuk ke dalam lift tersebut tanpa disadari keduanya.

Dasar bos mesum! Maen sosor anak orang aja!

--------------------------------

You Or YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang