You Or You -- 7

739 114 9
                                    

Dinda berangkat ke sekolah pagi ini dengan bus yang biasa ia tumpangi. Karena sudah penuh sesak dan tak mendapatkan tempat duduk, akhirnya Dinda hanya mampu berdiri sambil tangannya berpegangan pada kursi di sampingnya. Bayangan tadi pagi saat Rangga sempat mencuri ciuman pertamanya kembali terngiang. Pipinya memanas. Tanpa sadar senyumnya terukir di bibir mungilnya.

Ketukan uang receh tanda berhenti dari kenek bus membuyarkan lamunan Dinda. Segera ia melangkah turun menuju sekolahnya, kembali ke rutinitas menyambut hari ditemani anak-anak dengan penuh semangat.

Saat sampai di gerbang, ia menangkap sosok Denis yang tengah mengantar keponakannya. Saat Dinda menatap sosoknya, pun ternyata Denis juga menoleh. Pandangan mereka bertemu. Denis segera berjalan menghampiri Dinda yang masih berdiri di depan gerbang.

"Hai, Din. Gimana kabar?" sapa Denis.

"Baik, sangat baik malah, Den"

Denis mengernyitkan kening menatap Dinda yang memang sejak tadi terus tersenyum.

"Oh, sedang bahagia rupanya," goda Denis yang membuat Dinda salah tingkah. Memang diakui hatinya tengah berbunga. Entah karena efek paginya bersama Rangga atau pertemuannya dengan Denis yang pagi ini tampak semakin memukau dengan balutan jas kerja.

"Harus bahagia, Den, mana mungkin aku terlihat cemberut saat mengajar anak-anak," balas Dinda.

"Nanti siang ada waktu?"

"Ehm ... aku ada jadwal les. Kalo malam ada waktu. Kenapa, Den?"

"Nanti kujemput jam tujuh ya?" Denis menepuk pundak Dinda dan pergi sambil tersenyum.

"Hei! Kita mau ke mana?" Pertanyaan Dinda hanya dibalas lambaian tangan Denis.

Dinda hanya menatap punggung Denis yang semakin menjauh. Lambaian tangan Denis tak menjawab pertanyaan Dinda tentang rencana nanti malam. Bunyi bel sekolah membuatnya segera masuk ke dalam kelasnya.

♡♡♡

Denis datang tepat pukul tujuh malam. Tanpa mengetuk pintu untuk mencari Dinda, karena yang punya rumah sudah duduk manis menunggu. Dengan terusan bunga-bunga yang dikenakan Dinda membuat Denis tersenyum.

"Hei, kenapa kamu senyum? Ada yang aneh dengan penampilanku?" heran Dinda melihat senyum Denis yang tengah menatap penampilannya.

"Tidak, hanya saja kamu tetap cantik dengan baju apa pun. Mungkin dengan seragam muridmu pun juga tetap cantik," goda Denis sambil tertawa, membuat Dinda mendaratkan cubitan di lengan Denis. Meskipun Denis sudah merintih sakit dan meminta ampun, namun tetap saja tak dihiraukan Dinda.

"Sudah. Sakit ini, Din. Sebaiknya kita berangkat saja."

Dinda pun melepaskan tangannya yang asyik mencubit, mengikuti langkah Denis menuju mobil.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan mereka berdua dari balik jendela.

Mobil Denis melaju dengan kecepatan sedang. Tujuan Denis kali ini bukan restoran seperti waktu itu  melainkan ke apartemen. Setelah sampai, diajakanya Dinda menuju apartemen miliknya. Saat pintu terbuka, Dinda sempat melongo melihat arsitektur serta perabot yang menghiasi apartemen Denis. Dinda tak pernah membayangkan akan diajak Denis menuju tempat tinggalnya.

"Kenapa kamu diam di situ? Ayo duduk!" Masih dengan rasa kagum dengan apartemen Denis, Dinda perlahan duduk. Dilihatnya Denis yang membawakan dua gelas minuman dingin.

"Ini milikmu, Den?"

"Ya. Aku tinggal di sini sendiri."

"Istrimu?" tanya Dinda hati-hati.

"Hahahaha, kamu bercanda? Aku belum menikah, Din."

Entah kenapa kabar Denis belum menikah merupakan angin segar untuk Dinda.

"Lalu pacarmu?"

"Masih proses pendekatan."

Pernyataan Denis yang sempat memberinya angin segar tiba-tiba membuatnya gerah, seakan angin segarnya telah hilang.

"Owh."

"Lalu kamu sendiri, bagaimana dengan kekasihmu?" tanya Denis balik.

"Belum ada, masih fokus cari uang buat ortu di kampung," jawab Dinda menerawang, mengingat begitu besar harapan orang tuanya melihat ia sukses. Pun dengan harapan orang tuanya yang segera menikah. Sukses dan menikah, dua hal yang menjadi bebannya selama ini.

Sukses? Hanya masih dalam tahap mendapatkan pekerjaan sesuai dengan hatinya. Membagi banyak hal dengan anak-anak membuatnya mudah tertawa lepas.

Menikah? Punya pasangan saja belum. Memang bagi perempuan yang hidup di kampung, menikah muda adalah hal biasa bahkan lulusan SMP saja sudah banyak yang berkeluarga di desanya.

"Kenapa kamu sedih? Ingat orang tuamu?" tanya Denis saat melihat raut sedih di wajah Dinda.

"Hem."  Dinda mengangguk pelan.

"Sudah, jangan bersedih. Ayo kita menghibur diri," ajak Denis sambil menggandeng tangan Dinda menuju salah satu ruangan.

"Menghibur diri? Maksudnya?" bingung Dinda.

Dan saat tangan Denis menggandengnya menuju salah satu ruangan, Dinda hanya menurut.

"Kita pilih yang ini saja, mungkin bisa membuat suasana hatimu lebih baik."

Dipilihnya salah satu koleksi DVD milik Denis yang bergenre komedi. Dinda yang tengah duduk di salah satu sofa dengan bantal di pangkuannya hanya mengangguk saat Denis menunjukkan salah satu DVD di tangan.

Benar saja, beberapa menit setelah diputar Dinda kembali tertawa seakan melupakan kegundahan hatinya. Melihat Dinda sudah kembali ceria membuat Denis lega.

Dua film tengah dinikmati, membuat rasa kantuk semakin mendera kedua orang tersebut. Dinda tak kuat menahan kantuk. Matanya pun terpejam. Denis yang masih setengah mengantuk segera mematikan film dan mengangkat tubuh Dinda dalam gendongan menuju kamar miliknya. Dibaringkan tubuh Dinda dengan hati-hati, diselimuti tubuh itu sebatas dada. Saat hendak pergi, tangan Dinda tiba-tiba mencekal pergelangan tangan Denis yang membuat Denis bingung.

Diurungkan niatnya untuk tidur di sofa.

Lebih baik aku tetap disini

----------------------------------------

You Or YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang